Catatan Dahlan Iskan . 28/08/2023, 06:00 WIB
Saya tidak berhasil mencari sumber dari pihak Kiai Imad. Menurut Ustad Wafi, wakil Kiai Imad awalnya lima orang. Tapi, menjelang acara dimulai, yang dua orang mengundurkan diri.
Sedangkan dari pihak Ustad Wafi adalah Habib Anis Al-Atthas, Buya Qurtubi, Gus Rumail Abbas, dan Habib Idrus Al-Mansyur.
Yang jadi moderator debat itu salah seorang tokoh keturunan sultan Banten sendiri.
Hasilnya?
”Mereka mengaku keliru,” ujar Ustad Wafi. ”Tapi, itu kan wakil. Belum tentu Kiai Imad sendiri mengaku kalah,” ujar Wafi.
Tradisi debat kitab di NU sangat dalam. Kiai-kiai yang kelihatannya dari kampung itu penguasaan literaturnya luar biasa.
Ustad Wafi sendiri awalnya mondok (belajar di pondok pesantren) jauh dari kampungnya. Setamat SD di Probolinggo, ia dikirim ke Pondok Pesantren Darul Falah Amtsilati, Jepara. ”Menurut ayah, Pondok Amtsilati sangat mengkhususkan pendidikannya di bidang penguasaan kitab kuning,” ujar Ustad Wafi.
Di Jepara Ustad Wafi belajar selama dua tahun. Lalu, pindah ke pondok terkenal di Pasuruan: Pondok Sidogiri. Tujuh tahun Wafi di Sidogiri.
Tentu berakhirnya debat belum akan mengakhiri keriuhan di medsos. Bahkan, urusannya kian lebar. Bukan hanya keturunan nabi yang jadi perbincangan. Juga, soal keturunan Wali Sanga. Antara dua kelompok itu pun seperti saling klaim: siapa yang paling berjasa terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Apakah para habib (keturunan nabi) atau para kiai (keturunan Wali Sanga).
Biasanya, antara habib dan kiai seperti dua sisi koin yang sulit dipisah. Tapi, tiba-tiba saja seperti ada yang akan memisahkannya. (*)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com