Siswa lantas diminta menyampaikan analisis: mengapa kulit wajah yang ia/dia foto seperti itu.
Dari itu siswa akan tahu apa saja yang dilarang untuk dipakai merawat kulit wajah.
Windy mendapat ilmu kecantikan terbanyak dari mamanyi sendiri: wanita Tionghoa kelahiran Sichuan. Ketika kawin dan tinggal di Solo mamanya berganti nama dengan Ratna Dewi. Mama Windy belajar kecantikan sampai Hong Kong dan Jepang.
Semua pengajar kecantikan di BIPI harus berorientasi ke meka kognitif. "Bisa menyebut nama-nama ikan itu kognitif. Siswa tidak boleh hanya bisa menghafal. Harus bisa menjawab mengapanya," kata Windy.
"Siswa kami harus bisa menguasai lima dimensi kompetensi," katanya. "Tahu nama barang, bisa mengambil dan meletakkan barang itu secara benar, itu baru dimensi satu," katanyi. "Bisa membuat rencana, mengerjakan rencana itu dimensi kedua," tambahnyi.
Sedang mengetahui apa yang harus dilakukan dalam keadaan kritis, itu sudah dimensi tiga. "Dimensi empat adalah bisa melakukan transfer skill".
Windy tidak berhenti belajar. Dia selalu ingat profesor wanita dari Harvard yang dia kenal. Katanyi: terus belajar dan menularkan pengetahuan itulah kunci untuk membuat otak dan fisik tidak lumpuh.
Saya akan hadir di acara pengukuhan gelar doktor Windy hari ini. Promotor Windy adalah Prof Dr Mustaji MPd dan Dr Fajar Arianto SPd MPd.
Windy terus belajar, pun di usia 77 tahun. Sampai dapat gelar doktor.
Windy juga terus mengajar. Tidak ada yang memensiunkan di lembaga pendidikan milik sendiri.
Universitas Negeri Malang (UM) juga tambah doktor kemarin: Evi Winingsih. Saya juga hadir bersama Dekan Dr Ahmad Yusuf Sobri. Tentu juga promotor Evi, Prof IM Hambali. Setelah itu berkuliah umum bersama Wakil Rektor 3 UM Dr Ahmad Munjin Nasih.
Mengapa Evi tidak ditulis panjang seperti Windy?
Sebetulnya disertasi Dr Evi tidak kalah menarik. Namun judul disertasi itu membuat saya tidak berkutik: Model Psikoedukasi bermuatan nilai hidup Dahlan Iskan untuk meningkatkan career decision self efficacy siswa SMA. Saya jadi sungkan sendiri. (*)