Catatan Dahlan Iskan . 28/06/2023, 05:59 WIB
Pengunjung resto warteg di Sydney ini tinggal pilih. Nasi dengan dua lauk atau tiga lauk. Ada daftar lauk di menu. Ada pilihan kelompok daging. Ada pilihan kelompok sayur.
Semua menu ada di layar elektronik. Tinggal klik yang dipilih. Layar itu terhubung ke dapur. Untuk dibuatkan nasi bungkusnya. Lalu diikat dengan karet gelang.
Bungkusnya pun sama dengan di warteg. Bagian dalamnya daun pisang. Luarnya kertas cokelat yang di-coating itu. Nasi bungkus itu lantas ditaruh di piring sekali pakai. Selesai makan tinggal buang ke tempat sampah. Praktis. Murah. Khas Indonesia.
Dari mana dapat daun pisang?
"Dari Vietnam. Harganya lebih murah," ujar William. Daun pisang itu dijual di Australia. Sudah dipotong-potong menjadi segi empat.
Rasanya itu bukan soal murah dan mahal. Itu sepenuhnya soal penguasaan jaringan distribusi. Masakan Vietnam sudah begitu memasyarakat di Australia. Jaringan distribusinya terbentuk dengan sempurna. Daun pisang itu tinggal numpang saja di jaringan yang sudah terbentuk.
Jaringan masakan Indonesia itulah yang belum terbentuk. Harus ada pemicunya. Pemicu masakan Vietnam adalah perang Vietnam. Yang membuat begitu banyak pengungsi Vietnam di mana-mana. Sekalian membawa budaya mereka. Termasuk makanannya.
Tapi Thailand tidak pernah perang. Tidak punya pengungsi. Toh tomyamkum dan pad thai ada di mana-mana.
Itu karena Thailand pernah punya perdana menteri bernama Thaksin Shinawatra. Yang pemerintahnya punya program menduniakan masakan Thailand.
Tentu juga karena begitu banyak turis asing ke Thailand. Mereka bersinggungan dengan masakan setempat. Lalu menyebar.
"Kita ini tidak boleh hanya ekspor makanan. Juga harus ekspor budaya," ujar William.
Ia ingat betapa Tiongkok juga gigih ekspor budaya makanan China. Yakni bagaimana makan pakai sumpit. Sampai Deng Xiaoping secara demonstratif mengajari Presiden Amerika Serikat Richard Nixon cara memakai sumpit.
Dulu, di Barat, makan pakai sumpit dianggap memalukan. Tidak berbudaya. Rendahan. Sampai-sampai Tionghoa golongan Holland spreken merendahkan sesama Tionghoa yang masih makan pakai sumpit.
Dunia pun dibuat berubah. Maka kini orang Amerika pun banyak yang mencoba pakai sumpit: sebagai kebanggaan.
William ingin budaya makan pakai tangan pun juga harus diekspor. Kelak harus ke sana. Ini soal budaya. Bukan rendah atau tinggi.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com