Ternyata, kata mereka, rekening BCA Syariah tidak terkoneksi dengan sistem di BCA konvensional. Sama-sama syariah pilih di BSI.
Kalau sekarang muncul usulan perlunya bank umum dihidupkan kembali, pertimbangannya bukan lagi hanya soal keandalan sistem di BSI. Ada persoalan lain: seberapa syariahkah sebenarnya bank syariah itu.
Anda sudah tahu: biar pun perjanjian (akad) di bank syariah itu memenuhi kriteria syariah, tapi dalam pelaksanaannya mirip bank umum. Misalnya soal meminjam uang di bank syariah. Perjanjiannya adalah pinjam uang, untuk modal, dengan sistem bagi hasil. Kita yang berusaha. Bank syariah yang membiayai. Kalau usaha itu menghasilkan, labanya dibagi dua. Anda tidak perlu membayar bunga. Anda cukup menyisihkan sebagian laba ke bank yang memberi modal. Berapa bagian masing-masing disesuaikan dengan perjanjian.
Apakah praktiknya betul-betul demikian? Bagi hasil? Sama sekali tidak.
Lalu bagaimana kalau usaha itu rugi? Apakah ada bagi rugi? Juga tidak. Tetap saja jaminan disita bank syariah –dengan istilah apa pun.
Pertanyaan yang lebih ilmiah adalah: apakah bank syariah (saja) akan bisa menggerakkan ekonomi Aceh. Pertanyaan itu belum saatnya dijawab. Hilangnya bank umum di Aceh baru berlangsung satu tahun. Belum cukup bukti untuk menilai.
Tidak bisa, misalnya, Aceh yang kini berstatus provinsi termiskin kedua di seluruh Sumatera dikaitkan dengan hilangnya bank umum.
Terlalu banyak parameter yang memengaruhi kemajuan satu provinsi. Termasuk kepemimpinan daerah di provinsi itu.
Tentu dengan data setahun terakhir setidaknya ahli-ahli ekonomi di Unsyiah –ups, USK, bisa membuat proyeksi. Apa yang akan terjadi lima tahun ke depan –setelah tidak ada bank umum. Berapa pertumbuhan ekonomi Aceh. Kapan Aceh tidak lagi menjadi termiskin kedua.
Lapisan masyarakat intelektual Aceh tentu tidak akan bisa menerima: kok Aceh termiskin. Bagaimana bisa gudang intelektual tapi miskin.
USK sendiri, yang dimotori intelektual Aceh sendiri, sudah membuktikan bisa bangkit. Universitas di provinsi termiskin kedua itu tidak otomatis menjadi terjelek kedua.
Fakultas kedokterannya saja sudah punya 21 jurusan pendidikan spesialis. Termasuk bedah plastik. Sama sekali bukan seperti universitas di provinsi termiskin kedua.
Rasanya pro-kontra bank syariah harus diwasiti oleh fakultas ekonomi USK. FE USK bisa menyajikan dua model masa depan ekonomi Aceh: dengan dan tanpa bank umum. Seperti apa ekonomi Aceh 10 tahun yang akan datang. Lalu, kalau perlu di-referendum-kan: apakah perlu mengundang kembali bank umum. Agar jangan hanya jadi keputusan politik elite.
Di masa depan, ideologi lama menjadi sangat tidak penting. Ideologi yang paling laku, kelak, hanyalah satu: ideologi kemakmuran. Kemakmuran dunia dan akhirat. Tidak bisa hanya akhirat saja.
Bank ''syariah only'' di Aceh, akan menjadi laboratorium hidup perjalanan kemakmuran di Aceh. Ini laboratorium penting bagi kita. Kalau pun gagal, anggap saja rakyat telah jadi korban laboratorium itu.