Bahwa nilam di luar Aceh akhirnya mendapat pasar itu hanya karena produksi nilam Aceh terganggu: konflik di Aceh berlarut berkepanjangan.
Keistimewaan nilam Aceh adalah ini: kandungan patchouli-nya tinggi. Sampai 34 poin. Mengalahkan daerah lain yang hanya 28.
Unsur patchouli sangat penting untuk industri parfum. Bau wangi dari sumber bunga apa pun tidak bisa melekat tanpa patchouli. Patchouli adalah zat yang mengikat aroma agar bisa bertahan lama. Kian banyak kandungan patchouli dalam parfum kian lama wanginya melekat.
Maka negara seperti Prancis berkepentingan besar agar nilam Aceh bisa bangkit lagi. Prancis ahli membuat parfum tapi tidak punya sumber patchouli.
Dalam sejarahnya Belanda-lah yang jadi pedagang nilam. Belanda jual minyak nilam ke Prancis. Maka Belanda terus mencari sumber minyak nilam. Sampai jauh ke dunia timur.
Belanda yang sudah menguasai perdagangan rempah tinggal menambah satu komoditas: nilam. Sumbernya sama: dari Nusantara.
Maka Belanda pulalah yang melakukan penelitian. Belanda menanam nilam di berbagai wilayah Nusantara. Konon sumber awal benihnya dari Filipina –mungkin dari wilayah selatan yang dekat dengan Ternate. Waktu itu Belanda menguasai rempah Ternate.
Dari hasil riset itulah diperoleh kesimpulan: yang ditanam di Aceh-lah yang terbaik. Maka Aceh menjadi sumber utama nilam Eropa. Bahkan, kata direktur riset nilam USK Dr Syaifullah Muhammad, kata nilam itu sendiri singkatan dari Netherlands Indische Landook Acheh Maatschappij.
Ketika Aceh bergolak, lama-lama produksi nilam Aceh merosot. Kualitas merosot. Harga merosot. Petani tidak mau lagi menanam nilam. Kalau pun masih ada, produktivitasnya rendah. Juga merusak lingkungan: perladangannya berpindah. Lalu menggunakan kayu bakar untuk menyulingnya.
Ketika satu lembaga dari Korea ingin membantu ekonomi Aceh, mereka juga memilih nilam. Tapi siapa yang harus dihubungi? Maka lembaga dari Korea itu datang ke USK. Rektor USK Prof Dr Ir. Marwan, langsung membentuk tim riset nilam. Juga langsung menunjuk Dr Syaifullah Muhammad ST MT sebagai direktur risetnya.
Itu tahun 2015.
Dr Syaifullah adalah alumni fakultas tehnik kimia USK. Lalu meraih gelar master dan doktor di Perth, Australia Barat. Juga di teknik kimia. Di Curtin University. Disertasinya: Heterogeneous Catalytic Oxidation of Organic Compound.
Syaifullah kini 52 tahun. Ia orang Aceh Tamiang. Hidupnya ia habiskan di USK. Khususnya di riset nilam.
Indonesia kini ekspor minyak nilam 1.500 ton/tahun. Masih bisa meningkat sampai 2000 ton/tahun. Tidak semua wilayah di Aceh bisa menghasilkan nilam kualitas tinggi. Yang terbaik adalah di kabupaten Gayo Lues dan kabupaten sekitarnya.
Lima tahun sudah USK all out menangani nilam. Sangat berhasil. Konkret. Nyata. Harga nilam di tingkat petani tidak pernah lagi jatuh di bawah 500.000/kg.