Viral

Deddy Corbuzier ke Menkominfo: Judi Online Dipromosikan Artis Kok Gak di Blokir, yang Punya Terlalu Kuat ya?

fin.co.id - 01/08/2022, 17:20 WIB

Deddy Corbuzier

Ketiga, LBH Jakarta menilai pemblokiran situs internet dan aplikasi yang dilakukan oleh KOMINFO merupakan Perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan karena telah melanggar kewajiban hukum KOMINFO untuk memastikan pemenuhan Standar dan Mekanisme HAM dalam penyelenggaraan Sistem Elektronik di Indonesia. 

(BACA JUGA: Kawasan Wisata Pulau Komodo dan Sekitarnya Disebut Dikuasai 4 Korporasi Besar, Ini Daftarnya)

KOMINFO tampaknya tidak pernah belajar dari kesalahannya ketika melakukan perlambatan (throttling) akses/bandwidth di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua pada 19 Agustus 2019 yang kemudian digugat dan dinyatakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Perbuatan Melanggar Hukum berdasarkan Putusan Nomor : 230/G/TF/2019/PTUN-JKT (baca: https://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/2020/06/2019_TF_G_230_putusan_akhir.pdf), Putusan tersebut seharusnya menjadikan KOMINFO lebih mengedepankan standar dan mekanisme HAM serta Prinsip kehati-hatian (prudential) dalam melakukan tindakan Pemblokiran sistem internet dan aplikasi karena dampaknya sangat serius terhadap HAM;

Keempat, selain tidak memiliki legitimasi sebagaimana syarat pembatasan HAM, LBH Jakarta juga menilai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat bermasalah secara substansial karena dapat melakukan intervensi langsung kepada platform untuk menghapus konten dengan dalih “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, padahal tidak ada standar baku penentuan kapan sebuah konten dapat dianggap meresahkan masyarakat dan/atau mengganggu ketertiban umum. 

Subjektivitas dalam penentuan standar ini dapat berdampak pada Pelanggaran Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, hak untuk berkomunikasi serta memperoleh informasi. Lebih buruk, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat ini juga bermasalah karena terdapat pengaturan yang dapat melanggar Privasi dengan alasan Pengawasan dan Penegakan Hukum. 

Perlu diketahui Indonesia juga menjadi negara yang paling banyak meminta penghapusan konten (Google Content Removal Transparency Report, 2021). Oleh karena itu, ketentuan tersebut berpotensi menjadi instrumen kontrol negara yang eksesif di ruang digital dengan kaburnya ukuran-ukuran alasan penghapusan konten tersebut.

(BACA JUGA: Nah Loh! Pelaku Usaha Pariwisata Labuan Bajo Siap Mogok, Tolak Tarif Rp3,75 Juta yang Diberlakukan Pemerintah)

Kelima, LBH Jakarta menilai Pemerintah bersama dengan DPR seharusnya fokus dalam upaya melindungi data pribadi warga negara dengan mempercepat proses legislasi RUU Perlindungan Data Pribadi, bukan justru membuat kebijakan-kebijakan otoriter yang tidak didasarkan pada kepentingan utama masyarakat. 

Padahal, banyaknya kasus kebocoran data pribadi yang dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu (misalnya dalam kasus Pinjaman Online) harusnya cukup untuk membuat Pemerintah menentukan prioritasnya demi  menciptakan tata kelola dan ekosistem perlindungan data pribadi yang komprehensif dan protektif.

Keenam, LBH Jakarta menilai Pemerintah seharusnya juga fokus pada kesiapan perangkat aturan untuk menekan tingginya angka kekerasan seksual berbasis gender online dan Penyebaran Konten Intim Non Konsensual (NCII), secara khusus pasca berlakunya Undang-undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

 

 

Admin
Penulis
-->