"Di Malaysia ada kebijakan mendasarnya. Ada ketentuan mengenai pangan strategis," ujar Saparini. "Kita belum punya," tambahnyi.
Saya, harusnya, tidak perlu memilih ''Saparini'', nama belakangnyi, ketika menuliskan namanyi. Toh Disway sudah meniru bahasa Inggris: menulis ''nyi'' untuk ''her'' dan ''nya'' untuk ''his''. ''Dia'' untuk ''she'' dan ''ia'' untuk ''he''.
Tapi tetap saja saya "ragu": kalau saya tulis Hendri –nama depannyi– itu dikira nama laki-laki.
"Sampai sekarang masih ada saja yang menulis undangan ke saya dengan
''Bapak Hendri....''. Dikira saya laki-laki," ujarnyi, lantas tersenyum.
UU bahan pangan strategis itu, katanyi, belum pernah ada. Tapi, waktu itu, negara punya kebijakan strategis di lapangan: mendirikan Bulog. Yang bisa menggunakan keuangan negara untuk menjadi stabilitas harga pangan.
Lembaga Bulog menjadi mandul setelah ''Yang Mulia IMF'' kita datangkan. Untuk mengatasi krisis moneter tahun 1998. Yakni krisis multi dimensi yang sampai bikin Presiden Soeharto lengser. Sisi lain krisis waktu itu: bisa bikin banyak orang kaya mendadak –dari mempermainkan lembaga yang Anda sudah tahu: BPPN.
IMF lantas membantu kita. Tapi juga menetapkan 1001 syarat yang harus kita penuhi. Salah satunya: Bulog tidak boleh lagi menggunakan uang negara.
Selesailah barang itu.
Bulog pun ''habis''.
Memang masih saja bisa bersiasat. Dengan menggunakan dana komersial bank milik negara. Tapi sudah tidak bisa seperti Bulog yang dulu lagi.
Sejak itulah, ujar Saparini, impor bahan pangan menjadi kenyataan baru.
Menjadi semacam keharusan. Lalu senjata impor itu meningkat menjadi solusi permanen. Alasannya selalu sama: agar inflasi tetap rendah.
Harga pangan impor itu memang lebih murah. Menurut Saparini, itu bukan saja
berkat pertanian mereka yang lebih efisien. Tapi juga dari kebijakan ''memperbarui stok'' nasional di sana.