Duh, Politisi Senayan Diduga Terlibat Dalam Jejak Jual Beli Jabatan di Kemenkumham

fin.co.id - 09/12/2021, 12:12 WIB

Duh, Politisi Senayan Diduga Terlibat Dalam Jejak Jual Beli Jabatan di Kemenkumham

 

 

JAKARTA - Harapan untuk menjalankan amanat Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme jauh panggang dari api. Pemerintahan saat ini dapat dikatakan gagal mengemban amanat reformasi dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi.

Capaian Indek persepsi korupsi pada tahun 2020 menurut Transparansi International Indonesia mendapat skor 37 dengan peringkat 102 dari 180 negara yang korup. Fakta ini mencerminkan bahwa korupsi dengan berbagai modus massif terjadi di berbagai lini penyelenggaraan pemerintah dari pusat hingga daerah mulai pengadaan barang, bansos, perijinan, hingga jual beli jabatan.

Menurut Komisi Aparatur Sipil Negara pada tahun 2017 menyatakan bahwa Kementrian atau institusi yang dipimpin dari unsur partai politik rentan terjadi praktik jual beli jabatan dari level bawah hingga atas.

"Ini mencerminkan bahwa Parpol selama ini memberikan kontribusi besar terhadap praktek korupsi karena berkorelasi dengan sistem demokrasi berbiaya tinggi dan cenderung transaksional maka praktek korupsi melalui Jual Beli Jabatan tak akan pernah hilang," demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro di Jakarta, Kamis (9/12/2021).

BACA JUGA: Soal Isu Jual Beli Jabatan, Kemenkumham: Itu Bukan Kebijakan!

Gigih mengatakan, Parpol kerap melakukan Intervensi dalam praktek jual beli jabatan tidak semata untuk mendapatkan sumber dana, melainkan juga menjadikan birokrasi sebagai mesin politik terselubung.

"Praktek ini sudah berlangsung hingga saat ini, dimana untuk menentukan dan memilih pejabat untuk menduduki jabatan tertentu bukan berdasarkan dari integritas dan kualitas melainkan atas dasar uang dan koncoisme. Birokrasi semacam ini tidak akan menjalankan fungsinya secara optimal, justru yang dilakukan adalah bagaimana mengeruk keuntungan dg cara korupsi untuk kemudian dijadikan upeti ke atasannya," tuturnya.

Gigih mengatakan, indikasi yang ia temukan terjadi pada Kementerian Hukum Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang notabene Menterinya berasal dari Parpol. Dalam meritokrasi, mutasi jabatan merupakan program rutin dalam rangka reorganisasi jabatan yang dilakukan sesuai prosedur dan aturan yang jelas (open bidding, transparan,dll).

"Namun prosedur baku yang diterapkan di Kemenkumham kerap tak terpakai ketika ada intervensi politik Politisi Senayan khususnya yang memiliki relasi politik dengan pejabat Menterinya. Atas dasar kedekatan dan memiliki kuasa inilah mereka telah merusak sistem meritokrasi yang sedang dibangun oleh birokrasi," ungkapnya.

BACA JUGA: Soal Isu Jual Beli Jabatan Kemenkumham, Pengamat: Tarif Sekitar Rp 100 – 200 Juta

Ia mengungkap, sepanjang kurun waktu 5 tahun terakhir, telah menemukan dugaan beberapa Politisi Senayan yang rutin melakukan intervensi politik dalam mutasi jabatan yang terjadi di Kemenkumham. Modus Politisi Senayan dengan memberikan nama-nama "titipan" kemudian diberikan kepada oknum di Kemenkumham untuk diperjuangkan menduduki jabatan tertentu.

"Modus lain adalah memaksakan kehendak atas nama "titipan" yang tidak memiliki kualifikasi, kadang juga tengah bermasalah untuk tetap dimasukan dalam mutasi jabatan. Jika proses ini dibiarkan maka reformasi birokrasi akan berjalan mundur," tegasnya.

"Patut diduga seorang politisi senayan yg memiliki pengaruh mampu membawa lebih dari 3 orang untuk dimasukan dalam daftar mutasi jabatan. Sistem meritokrasi rusak karena uang dan koncoisme sehingga sistem birokrasi juga pasti terganggu. Tentu relasi politisi senayan dengan membawa nama "titipan" ini tak ada yang gratis semua pasti berbayar melalui proyek dan ataupun dalam bentuk pemberian fasilitas tertentu, entah keuntungan yg didapatkan apakah juga mengalir ke parpol atau hanya untuk kepentingan pribadi," sambungnya lagi.

Admin
Penulis