JAKARTA - Sejak awal proyek, Kereta Cepat Jakarta-Bandung diprediksi bermasalah. Mulai dari berubahnya calon pelaksana proyek yaitu Jepang ke Cina. Hal ini merupakan suatu keputusan yang diambil secara tergesa-gesa.
/p>
Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama mengatakan, bagaimana mungkin Cina yang sejak awal tidak ikut terlibat bisa membuat feasibility study (studi kelayakan sebuah pesanan yang didasarkan pada rencana atau proyek yang diusulkan).
/p>
Bahkan dilakukan cepat, sehingga bisa menggantikan Jepang. Menurutnya, pembuatan feasibility study, pasti didahului oleh survey dan sebagainya. Sehingga, sudah diduga sebelumnya ada yang tidak beres dengan feasibility study yang diberikan.
/p>
“Jadi walaupun lebih murah, tetapi sepertinya kurang detail. Demikian pula pembuatan amdal juga sepertinya sangat terburu-buru, karena Jokowi nampaknya ingin sekali menjadikan proyek Kereta Cepat ini sebagai mahakarya,” ungkap SJP (sapaan akrabnya).
/p>
Keterburu-buruan tersebut, imbuh Suryadi, menyebabkan kurang baiknya perencanaan Kereta Cepat. Sehingga semua kejadian di atas memberikan andil terhadap membengkaknya biaya Kereta Cepat.
/p>
“Terkait pembengkakan tersebut tentunya sudah diprediksi dan sejak awal. Walaupun presiden telah menerbitkan Perpres No 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta – Bandung," terang politisi PKS tersebut.
/p>
Pemerintah tidak bisa melarikan diri dari kewajibannya membantu keuangan BUMN yang berpotensi mengalami kerugian. Akibat penugasan untuk menjalankan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini. Dan hal ini terbukti dari diberikannya PMN kepada PT.KAI sebesar Rp4,1 triliun untuk keperluan proyek Kereta Cepat.
/p>
“Boleh dikatakan bahwa pemberian PMN ini melanggar Perpres No 107 Tahun 2015 tersebut, oleh sebab itu FPKS menolak pemberian PMN ini sebab disaat ini juga ada masalah lain yang harus diselesaikan yaitu pandemi Covid19,” terangnya, dikutip dari laman resmi PKS, Senin (13/9).
/p>
Beberapa masalah selain keuangan, kata Suryadi, juga sempat muncul yaitu beberapa kejadian seperti meledaknya pipa Pertamina yang menyebabkan tewasnya salah satu pekerja.
/p>
Juga beberapa kali sempat terjadi banjir di beberapa titik di ruas tol Jakarta Cikampek. Hal ini membuktikan kurang matangnya perencanaan dan kurang profesionalnya pengerjaan proyek Kereta Cepat ini.
/p>
“Dengan begitu banyaknya kekhawatiran yang menjadi kenyataan, untuk kedepannya kita harus mewaspadai jangan sampai pengoperasian Kereta Cepat ini mengganggu bisnis PT.KAI sendiri. Dimana kita tahu bahwa dengan membengkaknya biaya proyek ini hingga sekitar Rp 100 triliun lebih, maka operator Kereta Cepat harus berusaha keras untuk melunasi hutang-hutangnya,” ujar SJP.
/p>
Dengan biaya sebelum pembengkakan saja, tambah Suryadi, diperkirakan operator harus membayarkan cicilan sekitar Rp1,45 triliun per tahun, apalagi sekarang dengan adanya pembengkakan sebesar 30 pesen kemungkinan bisa mencapai Rp2 triliun per tahun.
/p>
“Sehingga tentunya operator Kereta Cepat mengharapkan bisa mendapatkan penumpang yang banyak, jangan sampai untuk mendapatkan penumpang yang banyak tersebut menggunakan cara-cara yang dapat mengganggu bisnis PT. KAI,” tutupnya. (khf/fin)
/p>