News

DJKN Janji Urus Sengketa Pembangkit Listrik MCTN di Blok Rokan

fin.co.id - 30/04/2021, 15:30 WIB

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

 

JAKARTA - Polemik soal penyerahan pembangkit listrik MCTN dalam proses alih kelola Blok Migas Rokan antara Chevron kepada PT Pertamina (Persero) terus menjadi perdebatan. Beberapa kalangan menyebut, PLN seharusnya mendapatkan serah terima pembangkit listrik swasta tersebut tanpa perlu ikut tender, karena sejatinya pembangkit listrik tersebut satu paket dengan alih kelola blok Rokan.

Serah terima itu wajib dilakukan karena pembangunan pembangkit listrik yang menghidupi blok Rokan itu, disebut telah dibiayai pembangunannya melalui cost recovery yang telah dibayarkan negara.

Menanggapi hal itu, Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Rionald Silaban sempat mengungkapkan bahwa pihak Chevron tidak mengakui jika pembangkit listrik MCTN itu masuk dalam komponen cost recovery. Atas dasar itu, Ditjen Kekayaan Negara (DJKN), kata dia, akan meneliti lebih dalam terkait duduk persoalan dari 'rebutan' pembangkit listrik tersebut.

"Ini kami masih teliti bersama SKK Migas, karena memang seharusnya itu tidak ada penggantian (diserahkan langsung/tanpa tender). Tapi kelihatannya Chevron menganggap itu tidak (dibiayai) melalui cost recovery," ujar Rionald, menjawab pertanyaan Fajar Indonesia Network (FIN), dalam diskusi bersama DJKN, Jumat (30/4).

Rionald berjanji, pihaknya, akan terus mendalami duduk persoalan perkara ini, agar apa yang seharusnyaenjadi hak negara bisa terpenuhi.

"Kita di DJKN masih melihat mengenai duduk dari pembangkit ini, karena kan kalau saya gak salah nanti berakhir nya itu, Chevron di bulan Agustus (2021) awal. Jadi kita sedang melihat kedudukan dari pembangkit listrik ini," tegasnya.

Sebelumnya, Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S Handoko juga mendesak pihak Chevron untuk melakukan penyerahan langsung pembangkit listrik MCTN kepada PLN, tanpa harus melalui proses tender.

Menurut Arief, penyerahan langsung itu sah dilakukan karena hal itu menjadi satu bagian dari serah terima pengelolaan blok Rokan ke Pertamina. Adapun pembangunan pembangkit listrik MCTN itu juga menurutnya dibiayai melalui cost recovery, maka sudah sewajarnya penyerahan blok Rokan diikuti juga dengan penyerahan pembangkit listrik MCTN kepada PLN.

"Setiap kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS yang beroperasi di Indonesia, tidak terkecuali Chevron, membangun pembangkit sendiri untuk kebutuhan listriknya. Namun, pada 1998, Chevron Pacific Indonesia menyerahkan pembangkit Blok Rokan ke Chevron Corporation," ujar Arief.

Komposisi kepemilikan saham MCTN awalnya adalah 47,5 persen dikuasai Chevron Inc, 47,5 persen oleh Texaco Inc, dan 5 persen PT Nusa Galih Nusantara. Pada 2001, Chevron dan Texaco bergabung. Alhasil, kepemilikan sahamnya menjadi 95 persen oleh Chevron dan 5 persen PT Nusa Galih Nusantara.

“Jadi, Chevron Pacific Indonesia bayar listrik ke adiknya dengan tarif yang kencang. Berapapun yang ditagihkan tadi itu semua cost recovery," kata dia.

Arief sebenarnya sudah menyinggung persoalan tersebut sebelum Blok Rokan diputuskan dikelola Pertamina. Alih kelolanya akan terjadi pada Agustus nanti. Namun, masalah itu kurang mendapat perhatian. Padahal, Pertamina Hulu Rokan, selaku pengelola selanjutnya, bakal membutuhkan listrik untuk menopang produksi di sana.

Ia mendesak agar Chevron tidak melakukan opsi tender dan segera menyerahkan pembangkit tersebut ke negara. Pasalnya, usia aset yang ditenderkan hanya tiga tahun. Hal ini berpotensi membuat pemenang tender akan meraup untung dalam berjualan listrik.

Di samping itu, Chevron juga telah mendapatkan keuntungan jauh melebihi investasi awal dari pembangkit listrik. Investasi awal untuk membangunnya adalah USD200 juta. Sedangkan, tagihan listrik di Blok Rokan dari MCTN ke Chevron dapat mencapai USD80 juta per tahun hingga 2020.

Admin
Penulis
-->