JAKARTA- Politikus Partai Demokrat, Rachlan Nashidik menilai, saat ini ada oknum-oknum buzzer Jokowi yang sengaja membuat opini menyalahkan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait peremajaan alutsista TNI hingga menyebabkan KRI Nanggala-402 tenggelam di dasar laut.
"Buzzer Jokowi gak bermoral. Bangsa berkabung coba-coba cari untung dengan menyalahkan SBY tak meremajakan alutsista," tulis Rachlan di Twitter-nya, Ahad (25/4).
Rachlan bilang bahwa modernisasi alutsista itu dimulai dari era SBY. Di era SBY pula Indonesia punya 3 kapal selam listrik.
"Padahal, modernisasi alutsista (minimum essential forces) justru dimulai oleh SBY. Hasilnya antara lain 3 Kapal Selam Listrik dari Korsel dengan alih teknologi," katanya.
Pernyataan Panca itu ditambahkan oleh Cipta Panca Laksana. Dia membeberkan bahwa di SBY anggaran untuk TNI meroket.
"Justru di era SBY ada peremajaan alutsista di TNI dan Polri, dan anggaran untuk TNI dan Polri meroket meningkat hampir 400%" katanya Panca.
"Emang ketika SBY menerima tampuk presiden dari Megawati kondisi keuangan negara bagus? Asal ngomong aja buzzer2 Jokowi. Beda dengan Jokowi menerima peralihan kepresidenan udah enak. Tapi kufur nikmat" sambungnya.
Pada tahun 2019 lalu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial sempat mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi yang dianggap kurang memperhatikan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimiliki TNI.
Peneliti Imparsial, Anton Aliabbas waktu itu mengatakan, di era Jokowi ada peningkatan anggaran pertahanan yang cukup signifikan. Namun Jokowi tidak punya konsep yang jelas
"Ketika anggarannya sudah naik, tidak ada arah yang jelas bagaimana pemerintahan Jokowi ini melakukan modernisasi alutsista," katanya waktu itu dalam Peringatan HUT Ke-74 TNI.
Ia menyebutkan, ada ada tiga komponen dalam anggaran pertahanan. Pertama, anggaran rutin, gaji dan lain-lain. Kedua, anggaran belanja barang mencakup penggunaan barang dan lain-lain. Ketiga, belanja modal, terkait pembelanjaan alutsista.
Di kemudian membandingkan dengan era SBY. "Kalau saya mencoba membandingkan, benang merahnya, Pak SBY pada tahun 2013-2014 itu sangat terlihat, bahwa anggaran rutin memang selalu menjadi pos pertama. Perbedaannya antara Jokowi dan SBY adalah di era Pak SBY anggaran pembelanjaan modal itu menjadi nomor dua terbesar. Jadi pada tahun 2013, anggaran rutinnya ada di Rp 33,5 triliun di anggaran modalnya ada di 25,7 triliun," kata Anton.
Sementara itu, pada era Jokowi, menurut dia, ketika ada lonjakan anggaran yang cukup tinggi dan signifikan, anggaran belanja modal menjadi komponen nomor 3.
"Bahkan catatan kami di tahun 2018 justru sangat rendah terkait belanja modal, karena di tahun sebelumnya di 2017 itu sekitar Rp33,4 triliun dan di tahun 2018 justru cuma setengahnya Rp19,1 triliun," ucap Anton.
"Itu jadi problem utama, kami melihat pertama bahwa ada lonjakan anggaran pertahanan yang cukup signifikan, tapi tidak ada konsep, tidak ada panduan, visi yang jelas sehingga tidak ada arah," kata dia. (dal/fin).