JAKARTA - Sejumlah hasil survei yang menyatakan, bahwa budaya baca Indonesia masih rendah dibantah oleh pihak Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Menurutnya, kondisi di Indonesia saat ini adalah minim bacaan.
Menurut Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando, jika budaya baca di Indonesia masih rendah, faktanya keberadaan Perahu Pustaka, Kuda Pustaka, Becak Pustaka, Angkot Pustaka, Mobil Pustaka, dan fasilitas bacaan lainnya di Indonesia selalu disambut antusias oleh warga.
"Indonesia hanya kekurangan bahan bacaan, bukan malas membaca," ujar Syarif di Jakarta, Kamis (22/4/2021).
BACA JUGA: Terganggu dengar Orang Bangunin Sahur, Zaskia Mecca: Gak Hargai Orang Lain!
Syarif menambahkan, keadaan ini nampak terlihat, khususnya di beberapa wilayah perbatasan negara dimana bisa dipastikan di sana tidak ada bahan bacaan."Jika ada yang bilang ini era digital yang tak perlu buku, itu hanya berlaku untuk masyarakat di kota saja," katanya.
Penduduk Indonesia berdasarkan data BPS kurang lebih 270 juta jiwa, sementara jumlah bahan bacaan yang Perpusnas data di semua jenis perpustakaan umum (bukan di sekolah, perguruan tinggi, atau di rumah) hanya 22 juta.
BACA JUGA: Nama Pendiri NU Hilang dari Kamus Sejarah, Begini Penjelasan Nadiem…
Artinya, rasio buku dengan total penduduk belum mencapai satu buku per orang/tahun (0,098). Sedangkan, di benua Eropa dan Amerika rata-rata sanggup menghasilkan 20-30 buku per orang setiap tahun."Angka ini cukup menguatkan bahwa orang Indonesia bukan malas membaca, tapi ketersediaan buku yang kurang," terangnya.
Syarif menjelaskan, ada berbagai faktor yang menyebabkan anak-anak tidak membaca buku. Pertama, akses ke buku cukup sulit, faktor kedua, yakni bukunya jelek-jelek.
BACA JUGA: Dewas KPK Sudah Dengar Dugaan Pemerasan Oknum Penyidik KPK kepada Wali Kota Tanjungbalai
"Jadi bukan salah orang Indonesianya yang malas membaca, tapi salahkan bukunya yang kebanyakan tidak menarik, bahkan sebagian merusak imajinasi anak," tuturnya.Menurut Syarif, akibat buku terbitan dalam negeri kurang menarik, anak-anak di banyak daerah menjadi gandrung dengan buku-buku terbitan/terjemahan dari luar negeri yang lebih memikat.
"Di sinilah letak kekhawatiran, karena anak-anak bisa terasing dari lingkungannya sendiri," punkasnya. (der/fin)