Hakim Kasus Jiwasraya Diadukan ke Dewas MA dan KY

fin.co.id - 20/04/2021, 17:00 WIB

Hakim Kasus Jiwasraya Diadukan ke Dewas MA dan KY

JAKARTA - Majelis hakim yang menyidangkan kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (persero) dilaporkan terdakwa Benny Tjokrosaputro ke Dewan Pengawas MA dan Komisi Yudisial dengan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Laporan yang dilayangkan melalui tim kuasa hukumnya, Benny merasa diperlakukan tidak adil dan hakim bersikap tidak profesional. Benny Tjokrosaputro divonis penjara seumur hidup dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (persero),

Majelis Hakim yang diadukannya adalah Rosmina (Ketua Majelis), Ignatius Eko Purwanto, Susanti Arsi Wibawani, H. Sigit Herman Binaji, dan Sukartono.

"Majelis Hakim tidak profesional, tidak didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, tidak memiliki keterampilan dan wawasan yang luas dalam menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Benny Tjokrosaputro dengan tindak pidana korupsi," kata Kuasa Hukum Benny, Fajar Gora usai melaporkan hakim, Selasa (20/4).

Menurutnya, ketidakprofesionalan hakim terlihat dari Majelis Hakim membuat “pertimbangan” putusan (ratio decidendi) yang sangat buruk dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Padahal, untuk menilai kualitas dan profesionalitas hakim adalah dengan melihat pertimbangan hukum dari suatu putusan yang dibuatnya.

"Sangatlah ironis, ketika Majelis Hakim menghukum penjara seumur hidup Benny Tjokrosaputro hanya dengan menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 2012 yang sebetulnya masih ditunda berlakunya, bahkan “sengaja dipenggal” ketentuannya, hanya sekadar untuk dapat menghukum Benny Tjokrosaputro," ujarnya.

Dia mengibaratkan Benny Tjokrosaputro telah dihukum penjara “seumur hidup” hanya dengan Surat Edaran di lingkungan Mahkamah Agung. SEMA tersebut sebenarnya hanyalah merupakan petunjuk teknis sebagai petunjuk pelaksanaan tugas bagi pengadilan dan bukan termasuk jenis peraturan perundang-undangan.

Gora menilai, Majelis Hakim yang diadukan Dewas MA dan KY dinilai tidak profesional dan tidak memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas ketika mengadili perkara Benny Tjokrosaputro. Kekeliruan fatal yang dilakukan Majelis Hakim adalah ketika memberikan pertimbangan hukum terkait unsur “merugikan keuangan negara” karena masih menggunakan “delik formil”. Padahal setelah adanya putusan MK Nomor 25/ PUU-XIV/2016, dalam menghitung kerugian negara tidak lagi menggunakan delik formil tetapi menggunakan delik materiil. Artinya kerugian keuangan negara harus dibuktikan secara nyata (factual loss), dan tidak lagi bersifat potensi (potential loss).

Dalam kasus Benny Tjokrosaputro, kata Gora, pertimbangan putusan Majelis Hakim secara jelas menyatakan tidak terbukti adanya kerugian negara secara nyata (factual loss), tetapi menghukumnya “seumur hidup” hanya dengan kerugian negara yang masih bersifat potensi (belum nyata)

Selain itu, Majelis Hakim dinilai sangat tidak profesional, karena dalam putusannya tidak mampu memisahkan harta benda yang dirampas negara merupakan harta benda milik pribadi Benny Tjokrosaputro atau milik perusahaan dari Benny Tjokrosaputro. Padahal, yang diputus bersalah adalah Benny Tjokrosaputro sebagai pribadi. Akan tetapi dalam putusan, harta benda yang tercatat dan terdaftar atas nama perusahaan Benny Tjokrosuanto maupun perusahaan milik pihak ketiga juga dirampas untuk Negara.

"Ketidakprofesionalan hakim dalam menjatuhkan putusan merampas harta benda tersebut telah mengakibatkan banyaknya pengajuan Keberatan Pasal 19 UU Tipikor ke Pengadilan hingga mencapai lebih dari 100 pihak pengadu keberatan," jelasnya.

Di samping itu, dalam mengadili dan menghukum Benny Tjokrosaputro, maka Majelis Hakim tentunya harus dibekali, mengerti dan memahami pengetahuannya tentang Pasar Modal. Apabila syarat pengetahuan Pasar Modal tidak dimilikinya, maka Majelis Hakim sangat besar melakukan kekeliruan dalam menjatuhkan putusan.

Hal inilah yang kemudian terjadi. Majelis Hakim bersikap tidak profesional, karena kurang pengetahuannya dan kurang memahami ruang lingkup Pasar Modal, sehingga menyatakan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat mampu “menggoreng” atau mengendalikan harga saham dengan menggunakan nama-nama orang sebagai nominee agar harga saham mengalami kenaikan.

"Padahal, apabila Majelis Hakim memahami dunia pasar modal, maka tidak mungkin seorang Benny Tjokrosaputro mampu mengendalikan harga saham di pasar bebas yang namanya Pasar Modal, terlebih lagi jika saham yang katanya digoreng itu (saham MYRX) memiliki saham Indeks LQ45," terangnya.

Pelanggaran lain yang dilakukan Majelis Hakim adalah keliru atau salah dalam menilai alat bukti terkait unsur niat jahat (mens rea). Fakta persidangan terungkap, tidak ada hubungan kedekatan dan pertemuan yang intens atau sering terjadi antara Benny Tjokrosaputro dengan Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, Syahmirwan dan pihak-pihak lainnya, baik itu para Direksi maupun karyawan PT. Asuransi Jiwasraya, termasuk Manajer Investasi dan/atau pihak lain yang terkait perkara ini.

Admin
Penulis