JAKARTA - Penerbitan surat perintah penghentian perkara (SP3) perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim oleh KPK dinilai terlalu dini.
"Penerbitan SP3 terkesan ingin melindungi kepentingan pelaku. KPK semestinya mendapatkan keterangan dari Sjamsul maupun Itjih untuk melihat kemungkinan meneruskan penanganan perkara," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (2/4).
Dia juga menilai SP3 merupakan dampak buruk revisi UU KPK.
"Perlahan namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi," ujarnya.
Dijelaskannya, problematika kewenangan pemberian SP3 di KPK yang diatur dalam Pasal 40 UU KPK bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2004.
MK menegaskan KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 semata-mata untuk mencegah lembaga anti rasuah tersebut melakukan penyalahgunaan kewenangan.
"Sebab, tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 justru dijadikan bancakan korupsi," ujarnya.
Dikatakannya, polanya pun dapat beragam. Misalnya, negosiasi penghentian perkara dengan para tersangka atau dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji tatkala mengikuti seleksi pejabat di lembaga anti rasuah tersebut.
Meski demikian, penghentian perkara ini bukan berarti menutup kemungkinan menjerat Nursalim kembali.
"Sebab, Pasal 40 ayat (4) UU KPK menjelaskan bahwa SP3 dapat dicabut tatkala ditemukan adanya bukti baru dan putusan praperadilan," ungkapnya.
Dia pun mendorong KPK segera melimpahkan berkas kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan, maka pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang," katanya.(gw/fin)