JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI Sigit Sosiantomo menyesalkan membengkaknya biaya pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung hingga Rp23 Triliun. Pembengkakan biaya atau Cost Overruns yang mencapai 23 persen dari nilai awal yang besarnya US$6,071 miliar itu dikhawatirkan berpotensi membebani APBN.
Menurutnya, sejak awal memang proyek ini memang sudah diprediksi akan bermasalah. Karena seperti dipaksakan meski tidak memiliki prospek bisnis dan operasional. Bahkan sejumlah aturan ditabrak.
"Tak heran kalau belakangan muncul masalah seperti ini akibat perencanaan yang kurang matang. Yang saya khawatirkan, pembengkakan biaya ini akan membebani anggaran negara,” Kata Sigit yang juga anggota Badan Anggaran DPR RI dari FPKS.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia melalui konsorsium badan usaha pelat merah bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia memegang 60 persen saham di perusahaan patungan Indonesia dan China itu.
Empat badan usaha milik negara itu adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar 38 persen, PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) masing-masing 25 persen, serta PT Jasa Marga (Persero) Tbk 12 persen. Adapun 40 persen saham KCIC dipegang konsorsium asal Cina, Beijing Yawan HSR Co Ltd.
Pembengkakan biaya pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta—Bandung sebesar Rp23 Triliun tersebut diprediksi bakal membebani keempat BUMN yang masuk dalam konsorsium bersama BUMN Tiongkok. Dan jika keempat perusahaan plat merah tersebut kekurangan modal, tentu pemerintah akan turun tangan mendanai melalui APBN.
“Kalau BUMN dilibatkan dalam konsorsium tidak masalah, selama mereka hanya mengerjakan. Tapi kalau BUMN juga diminta menyediakan modal investasi, maka itu akan sangat memberatkan. Duit dari mana mereka sebesar itu? Pasti minta suntikan modal dari negara yang asalnya juga dari APBN. Dan ini akan semakin membebani APBN jika anggarannya membengkak,” kata Sigit.
Diberitakan sebelumnya, biaya pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak akibat munculnya berbagai kebutuhan yang tidak diprediksi di awal proyek, salah satunya biaya pembebasan lahan. Faktor lainnya adalah perubahan harga pada saat pengerjaan proyek.
Studi kelayakan dari proyek strategis nasional itu disebut belum mencantumkan penjadwalan akuisisi lahan, sehingga penyelesaiannya sulit diprediksi.
Selain itu, beban proyek membesar karena penentuan trase yang kurang matang, sehingga bersinggungan dengan berbagai fasilitas umum dan sosial yang harus direlokasi. Meskipun 75 persen pendanaan proyek dibiayai dengan pinjaman China Development Bank, biaya tambahan yang muncul selama pengerjaan harus ditanggung KCIC. (khf/fin)