Food Estate Berpotensi Perparah Krisis Iklim

fin.co.id - 04/03/2021, 10:35 WIB

Food Estate Berpotensi Perparah Krisis Iklim

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai, program lumbung pangan atau Food Estate yang dijalankan pemerintah berpotensi memperparah terjadinya krisis iklim. Sebab akan meningkatkan risiko deforestasi, pengeringan gambut serta kebakaran hutan dan lahan.

Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri mengatakan, bila pemerintah memaksakan program Food Estate, maka risikonya akan kontraproduktif dengan tujuan menyelesaikan masalah pangan.

BACA JUGA:  Jubir Gubernur Sulsel: Keluarga Nurdin Abdullah Siap Kooperatif dengan KPK

"Apalagi jika melihat dari Area of Interest (AOI) di empat provinsi, lebih dari 1,5 juta hektare (ha) AOI Food Estate merupakan hutan alam dan hampir 40 persen AOI Food Estate tersebar di Fungsi Ekosistem Gambut yang jika dibuka dapat melepaskan karbon dalam jumlah besar dan menghambat ketercapaian komitmen iklim Indonesia khususnya di sektor kehutanan," ujar Anggalia, di Jakarta kemarin (3/3).

BACA JUGA:  Geledah Kediaman Penyuap Nurdin Abdullah, KPK Amankan Sejumlah Dokumen

Dia menjelaskan, hasil kajian Madani menemukan hutan alam seluas lebih dari 1,57 juta ha di dalam daerah alokasi (Area of Interest/ AOI) Food Estate di empat provinsi, berpotensi terancam oleh pengembangan Food Estate, dan terluas berada di Provinsi Papua.

BACA JUGA:  Ajak Masyarakat Untuk Berinvestasi, Pegadaian Kembali Luncurkan Program Promo

Tercatat hampir 41 persen atau 642.319 ha dari luas tersebut merupakan hutan alam primer, sementara itu gambut yang bertutupan hutan alam mencapai 730 ribu ha (51,4 persen) yang secara tegas keduanya dicantumkan di RPJMN 2020-2024 sebagai development constraint yang harus dijaga.

“Apabila seluruh koridor daerah alokasi tersebut dikonversi menjadi area Food Estate, potensi hutan alam yang hilang hampir setara dengan tiga kali luas Pulau Bali," tuturnya.

BACA JUGA:  Sambangi KPK, Gus Yaqut Bicara Soal Pencegahan Fraud dan Penyimpangan di Kemenag

Estimasi nilai Rupiah dari potensi kayu bulat pada hutan alam di area alokasi (AOI) Food Estate sangat tinggi, mencapai lebih dari Rp209 triliun dan hampir setara dengan 9,3 persen Pendapatan Negara dari APBN 2020 atau 57 persen Penerimaan Negara Bukan Pajak di 2020.

“AOI Food Estate juga banyak tumpang tindih dengan wilayah adat, area yang dialokasikan untuk reforma agraria (TORA), dan juga area yang dialokasikan untuk perhutanan sosial. Tanpa ada pengakuan dan perlindungan legal-formal, tumpang tindih ini berpotensi menimbulkan konflik dan memarjinalkan masyarakat adat lebih jauh lagi,” tambah Anggalia.

BACA JUGA:  Gus Najih Sindir Ustad ‘Dadakan’ dari Kalangan Mualaf: Cukup Meresahkan

Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) IPB University, Rizaldi Boer mengatakan, jika temuan Madani terkait Food Estate itu terjadi, artinya 2,1 juta ha hutan alam akan terancam untuk dikonversi, dan sebagian besar (89 persen) ada di Papua.

"Dengan kemudahan yang begitu banyak diberikan untuk Food Estate, tidak salah untuk mengatakan menyediakan karpet merah eksploitasi sumber daya alam dan tentu Food Estate adalah ancaman," ujar Rizaldi.

BACA JUGA:  Ngabalin Ancam Perang dengan Demokrat Jika Masih Bawa-bawa Nama Jokowi

Rizaldi menambahkan, saat ini masih banyak terdapat lahan tidur dan tidak produktif dengan total luas 30 juta ha, terdiri dari Area Penggunaan Lain (APL) seluas 11 juta ha dan Kawasan Hutan seluas 19 juta ha yang dapat dimaksimalkan pemanfaatannya, sehingga program Food Estate tidak menyasar hutan alam yang tersisa saat ini.

BACA JUGA:  Jokowi Cabut Perpres Miras, Mahfud MD: Tanda Pemerintah tak Alergi Kritik

Terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa berpendapat program Food Estate tidak menjawab persoalan pangan apalagi akan semakin buruk jika dilakukan dengan mengalihfungsikan hutan alam.

"Sejarah implementasi Food Estate di Tanah Air terbilang buruk. Kegagalan dari Food Estate yang pernah dijalankan pemerintah Indonesia adalah karena mengingkari kaidah akademis," ujar Andreas, kemarin.

Menurut Andreas, kaidah akademis yang perlu menjadi perhatian di antaranya kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan teknologi, kelayakan sosial dan ekonomi.

BACA JUGA:  Terjerat Kasus Korupsi, BHACA Akan Evaluasi Penghargaan Antikorupsi Nurdin Abdullah

"Tata kelola air jadi kunci utama dari pengembangan lahan pertanian, karena ini termasuk ke dalam kelayakan infrastruktur yang berbiaya tinggi. Jadi pilar-pilar tersebut harus dijamin dapat terpenuhi, jika tidak maka akan gagal Food Estate tersebut,” ucapnya.

Sementara itu, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto memastikan bahwa perubahan fungsi hutan lindung menjadi lahan Food Estate telah tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 24 Tahun 2020.

BACA JUGA:  Ferdinand: Tak Ada Negara yang Hancur Karena Miras, yang Ada Hancur Karena Mabuk Agama

"Pemerintah perlu mempersiapkan dalam hal terdapat kebutuhan berkenaan dengan program dan kegiatan penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate. Pada konteks terdapat kebutuhan lahan dari kawasan hutan, maka dapat dilakukan dengan mekanisme sesuai peraturan perundangan, seperti Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP)," kata Sigit.

BACA JUGA:  Jokowi Buka Pintu Investasi Miras, MUI: Mulutnya Teriak Pancasila, Praktiknya Liberalisme

Ia menegaskan, pengajuan pemanfaatan kawasan hutan untuk Food Estate hanya dapat dilakukan pemerintah dan tidak diperbolehkan untuk swasta.

"Jadi sesuai Pasal 3 ayat 2 jelas hanya dapat diajukan permohonannya oleh pemerintah, dalam hal ini menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota atau kepala badan otoritas yang ditugaskan khusus oleh pemerintah. Tidak dimaksudkan untuk swasta," pungkasnya. (git/din/fin)

Admin
Penulis