Membahas Pemilu Tanpa Pilkada

fin.co.id - 26/02/2021, 09:35 WIB

Membahas Pemilu Tanpa Pilkada

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Usulan melanjutkan pembahasan RUU Pemilu tanpa merevisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada akan dibahas di rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI. Komisi II DPR telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu dan menyerahkan langkah untuk menindaklanjutinya kepada pimpinan DPR RI.

BACA JUGA:  LPDB-KUMKM Gelar Rapat Kerja dengan Perusahaan Penjamin Kredit dan Asuransi

Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa. Politisi NasDem ini menegaskan, jika pihaknya masih tetap menolak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu hingga saat ini. Saan pun mengingatkan bahwa revisi UU Pemilu dan UU Pilkada terintegrasi dalam draf RUU Pemilu yang telah disusun.

"Soal usul bahas RUU Pemilu tanpa revisi UU Pilkada, nanti kita lihat. Komisi II DPR hanya menjalankan penugasan Bamus. Kita lihat di Bamus sikap masing-masing fraksi," ujarnya.

BACA JUGA:  Ahli Sarankan Penderita Diabetes Jaga Kadar Gula Darah Sebelum Divaksin Covid-19

Dengan demikian, draf RUU Pemilu harus dirombak secara menyeluruh bila pembahasan RUU Pemilu tetap mau dilanjutkan tanpa merevisi UU Pilkada. Bahkan, lanjut Saan, Komisi II DPR harus membentuk ulang Panitia Kerja (Panja) untuk menyusun RUU Pemilu yang tidak berkaitan dengan revisi UU Pilkada.

BACA JUGA:  Apresiasi Kiprah Teknisi IndiHome dalam Berikan Layanan Terbaik Hingga di Zona Merah Covid-19

"Harus dirombak semua draf yang sudah di situ, karena di situ mengatur pilkada. Panja juga harus disusun ulang. Kita lihat dulu hasil Bamus nanti yang akan diagendakan pimpinan DPR," terangnya.

Terpisah, Anggota Komisi II DPR RI Mohamad Muraz menyarankan agar DPR dan pemerintah tidak langsung mengambil keputusan untuk tidak membahas UU Pemilu.

BACA JUGA:  PLN Lakukan Pemeliharaan GITET, Pastikan Sistem Jawa Bali Andal Hadapi Cuaca Ekstrem

Menurutnya, DPR harus terlebih dahulu meminta masukan dan pendapat dari para ahli, akademisi, dan masyarakat.

"Sebaiknya DPR dan pemerintah tidak langsung menghentikan pembahasan revisi UU Pemilu namun terlebih dahulu meminta pendapat ahli, akademisi, dan tokoh terkait perlu atau tidak dilakukan revisi," kata Muraz, Kamis (25/2).

Politisi Partai Demokrat itu juga menyarankan agar DPR dan pemerintah melakukan survei terkait kesediaan masyarakat untuk mengikuti pemilu serentak pada tahun 2024.

Menurut dia, perlu ditanyakan juga kepada masyarakat apakah bersedia berpartisipasi dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang akan diserentakkan antara Pemilu Presiden (Pilpres), Pemilu Legislatif (Pileg), dan Pilkada.

BACA JUGA:  Gerakkan Roda Ekonomi Perbatasan, PLN Hadirkan Layanan Listrik 24 Jam di Sei Menggaris

"Misalnya KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) apakah masih bersedia dengan format pemilu tersebut dan apakah masyarakat mau mencoblos," ujarnya.

Ia menjelaskan urgensi dilakukannya revisi UU Pemilu antara lain dalam pelaksanaan Pemilu 2019 telah menimbulkan kompleksitas, suara tidak sah tinggi, banyak suara terbuang, dan banyak petugas yang meninggal.

Menurut dia, kompleksitas yang tinggi tersebut menyebabkan masyarakat hanya fokus pada surat suara untuk Pilpres.

"Di UU Pemilu, kelembagaan penyelenggara pemilu belum diatur secara berimbang sehingga butuh perhatian lagi," katanya. Ia juga menjelaskan, urgensi revisi UU Pemilu karena adanya Keputusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu.

BACA JUGA:  Kabareskrim Ungkap Kapolri Beri Amanat Selesaikan Kasus Penembakan Laskar FPI

Putusan MK tersebut menyebutkan enam varian model pemilu serentak untuk digagas oleh pengubah UU sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

menurutnya, jika pelaksanaan Pilkada 2024 dilakukan berdekatan dengan Pilpres dan Pileg, maka dikhawatirkan akan mengurangi kualitas demokrasi. Hal itu, menurut dia, karena publik tidak ada waktu banyak untuk meneliti, memilah, dan memilih calon yang berkualitas.

BACA JUGA:  PPM Manajemen Tetap Berkarya dengan Melakukan Inovasi dalam Pelayanan

Menurut dia, kalau Pilkada dilakukan pada 2024, maka pada tahun 2022 dan 2023 akan terjadi kekosongan sebanyak 278 jabatan kepala daerah karena diisi pejabat sementara yang masa tugasnya lebih dari dua tahun.

"Masa tenggang dua tahun itu cukup lama, menyebabkan kewenangan pejabat sementara kepala daerah menjadi terbatas dan ada kemungkinan pembangunan di daerah tidak sesuai kehendak rakyat," tandasnya. (khf/fin)

Admin
Penulis