Abhan mengajak semua pihak untuk mengantisipasinya sejak dini. “Yang harus sama-sama kita antisipasi yaitu bagaimana politik identitas ini tidak lahir kembali pada pemilu atau pilkada ke depan. Cukup 2017 silam bagaimana politik identitas ini begitu menggelora kepermukaan saat Pilkada DKI Jakarta,” ungkap Abhan.
Ia menegaskan, deretan pelanggaran yang pernah terjadi harus diantisipasi supaya tidak terulang di masa yang akan datang. Dia berpandangan politik identitas di Indonesia sering didasarkan pada kepercayaan terhadap orang atau kelompok berlandaskan kesamaan suku atau agama.
BACA JUGA: Menko Perekonomian Paparkan Lima Strategi Pengendalisn Inflasi 2021
"Contoh yang paling nyata yaitu ujaran kebencian yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) yang digunakan sebagai alat untuk menjegal lawan politiknya," beber lelaki asal Jawa Tengah itu.Dalam mengantisipasi terjadinya politik identitas, lanjut Abhan, Bawaslu memiliki peran sentral. Salah satu caranya dengan melakukan pendekatan struktural terhadap tokoh-tokoh agama, khususnya yang dianggap berpengaruh pada proses pilkada dan pemilu. Kemudian membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stakeholders.
"Bawaslu juga pernah menerbitkan buku mengenai pemilu tanpa politisasi SARA dan politik uang. Ini menurut saya merupakan terobosan yang luar biasa," kata Abhan, Jumat (12/2).
BACA JUGA: Daftar Pemenang Piala Dunia Antar-klub Sejak Tahun 2000
Sementara itu, Anggota DPR RI Herman Khaeron mengatakan, fraksi-nya mendukung pelaksanaan Pilkada dilaksanakan terpisah dari Pilpres di tahun 2022 dan 2023. Ia berujar apabila dilaksanakan secara serentak di 2024 sesuai dengan yang disampaikan pemerintah, kesannya terlalu memaksakan dan akan membuat KPU kewalahan.Hal tersebut disampaikan Herman dalam interupsi rapat paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (10/2/2021). Menurutnya revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus menjadi hal yang urgent untuk dibahas saat ini.
"Saya memiliki catatan bahwa Pemilu 2019 ketika Pilpres dan Pileg digabungkan, telah menyebabkan ratusan penyelenggara pemilu meninggal dunia. Semua pihak harus menampung aspirasi dari masyarakat dan jangan sampai ada inkonsistensi dalam pembahasan RUU Pemilu," ucap Herman.
BACA JUGA: Pelaku Penusukan Anak Buah Anies Juga Ancam Pegawai Lain
Politisi Fraksi Partai Demokrat ini juga mengindikasikan akan terlihat siapa yang diuntungkan dan dipentingkan jika Pilkada dilakukan di 2024. Ia pun mempertanyakan nasib 278 daerah yang nantinya akan melakukan penunjukkan pelaksana tugas, sehingga menyebabkan kekosongan pemerintahan di daerah."Tentu ini juga akan menjadi masalah tersendiri begitu juga dengan penganggaran, bayangkan saja jika Pilkada, Pilpres, Pileg digabungkan di tahun 2024, akan sangat membutuhkan biaya yang sangat besar dan tentu ini akan terjadi ketidakseimbangan anggaran," ujarnya. Dia mengajak semua pihak untuk duduk bersama membicarakan hal tersebut, apakah Pilkada dilaksanakan di 2024 atau memundurkannya menjadi tahun 2027.
Terpisah, pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak pada 2024 mendatang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak. Pengalaman Pemilu lima kotak 2019 lalu, harusnya dijadikan pelajaran. Beratnya beban penyelenggara Pemilu hingga jatuhnya korban.
BACA JUGA: Menko Perekonomian Setujui Usulan Relaksasi PPnBM Roda Empat
Kompleksitas tahapan juga perlu dipertimbangkan. Eks Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Titi Anggraini mengingatkan, ada sejumlah implikasi yang akan dihadapi.“Kompleksitas Pemilu 2019 yang pernah dihadapi berpotensi berulang di 2024," kata Titi. Alasannya, regulasi pada undang-undang tidak mengalami perubahan, baik UU Pemilu maupun UU Pilkada.
Kemudian, penyelenggaraan serentak juga dikhawatirkan akan memperlemah tingkat identifikasi partai politik dengan warga. Karena, biasanya korelasi antara pemilih dengan partai politik itu intensitas-nya meningkat pada saat ada agenda elektoral.
Lemahnya keterlibatan partisipatoris masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kemungkinan juga bisa terjadi. Pemerintah akan berusaha maksimal agar prosedural pemilu dan pilkada bisa berjalan baik. Namun kompleksitas pemilu bukan prosedural, namun juga substantif.
"Tetapi kalau kita lihat dari variabel indeks demokrasi penyelenggaraan pemilu itu menyumbang kontribusi skor yang tinggi yaitu 7,92. Jadi bisa dikatakan kalau kita bicara pergaulan internasional pemilu itu menjadi salah satu instrumen diplomasi demokrasi kita," ujarnya. (khf/fin)