JAKARTA - Potensi hujan ekstrem masih terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Banjir dan tanah longsor menjadi ancaman yang paling serius. Karenanya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan modifikasi cuaca.
BACA JUGA: Anies Masuk Kategori Pahlawan Transportasi Dunia, Ferdinand Enggak Terima: Itu Karya Jokowi dan Ahok
Kepala Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Harry T Djatmiko mengatakan pihaknya telah mengeluarkan peringatan dini terkait masih tingginya potensi lebat di beberapa daerah pada 10-11 Februari 2021. Hujan dengan intesitas sangat tinggi berdampak munculnya banjir."Daerah yang masih berpotensi hujan lebat yang dapat disertai petir atau kilat dan angin kencang antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan," ungkapnya dalam keterangannya, Selasa (9/2).
BACA JUGA: Kunjungi KPK, Kapolri Nyatakan Komitmen Kerja Sama Korsup Penanganan Perkara
Selain itu, dikatakannya, daerah yang juga berpotensi hujan lebat adalah Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua.Untuk itu, dia meminta agar masyarakat mewaspadai adanya dampak banjir maupun banjir bandang. Terutama di Banten (siaga), Jawa Barat (siaga), Jawa Tengah (siaga), Jawa Timur (siaga), Aceh (waspada), Sumatera Utara (waspada), Jambi (waspada), Bengkulu (waspada), Sumatera Selatan (waspada), Lampung (waspada).
BACA JUGA: Menko Perekonomian Ungkap Pemerintah Berencana Berlakukan PPKM Skala Mikro
Begitu juga dengan wilayah DKI Jakarta (waspada), DI Yogyakarta (waspada), Bali (waspada), Nusa Tenggara Barat (waspada), Kalimantan Utara (waspada), Kalimantan Timur (waspada), Kalimantan Tengah (waspada), Kalimantan Selatan (waspada), Nusa Tenggara Timur (waspada), Sulawesi Tengah (waspada), Sulawesi Selatan (waspada) dan Papua (waspada).BACA JUGA: Soal Polemik WN Amerika, Paslon Petahana Sabu Raijua Minta Pelantikan Orient Kore Ditunda
"Puncak musim hujan terjadi pada Januari-Februari 2021, disertai dengan fenomena La Nina dan sejumlah fenomena lainnya yang berdampak terjadinya cuaca ekstrem," ujarnya.Untuk mengantisipasi terjadinya hujan ekstrem yang berdampak munculnya banjir, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan pihaknya akan menggelar operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Operasi TMC ini digunakan untuk redistribusi curah hujan dalam rangka mengurangi hujan ekstrem yang melanda wilayah Pulau Jawa saat ini.
"Pelaksanaan TMC redistribusi curah hujan wilayah banjir perlu segera dilakukan guna antisipasi makin meluasnya wilayah terdampak banjir,” katanya.
BACA JUGA: Ustadz Maaher Meninggal di Dalam Sel, Novel Baswedan: Aparat Jangan Keterlaluan!
Merujuk redistribusi curah hujan di Jabodetabek pada 2020, TMC mampu mengurangi curah hujan sebesar 21-47 persen. Karenanya diharapkan dengan penerapan operasi TMC saat ini akan mengurangi potensi kerugian baik secara ekonomi maupun sosial.Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) BPPT Jon Arifian mengatakan pelaksanaan TMC membutuhkan upaya dan sumber daya yang lebih dibandingkan TMC untuk menambah curah hujan, diantaranya kesiapan pesawat karena masifnya pertumbuhan awan.
Dalam operasi TMC redistribusi curah hujan di Jabodetabek pada 2020, BBTMC mengerahkan sumber daya peralatan seperti pesawat CN 295, Cassa 212-200 dan juga pesawat Piper Chayenne.
BACA JUGA: Terus Berkontribusi Pulihkan Ekonomi Nasional, LPDB-KUMKM Gandeng Kejari Kota Sukabumi
"TMC penyemaian awan untuk redistribusi curah hujan yang disiapkan meliputi metode "jumping proses" dan "sistem kompetisi"," ungkapnya.Metode jumping proses adalah perlakuan penyemaian pada awan-awan di luar wilayah rawan banjir yang pergerakannya mengarah menuju wilayah rawan banjir.
BACA JUGA: Disindir Sekolah Enggak Tamat, Susi Pudjiastuti: Halo Pak Henry Salam Kenal
Sedangkan sistem kompetisi adalah menyemai bibit awan yang masih kecil secara masif di daerah rawan banjir, sehingga awan tersebut tidak sempat berkembang menjadi hujan secara masif atau diupayakan buyar sebelum mencapai wilayah rawan banjir.BACA JUGA: Kasus Penghapusan DPO Djoko Tjandra, Brigjen Prasetijo Utomo Dituntut 2,5 Tahun Penjara
Dikatakannya, berdasarkan pantauan BBTMC, selama Januari 2021 di wilayah Jawa telah terjadi beberapa kali kejadian curah hujan ekstrem, namun belum sampai mengakibatkan terjadinya banjir. Hal itu disebabkan kondisi tanah masih belum jenuh, sehingga air hujan yang terjadi sebagian besar masih bisa terserap oleh tanah dan menjadi aliran bawah permukaan.BACA JUGA: Berbagi Rambut untuk Pasien Kanker Dalam Rangka Hari Kanker Sedunia
Namun, dengan bertambahnya hujan pada bulan Februari, berangsur angsur kondisi tanah mulai jenuh, sehingga dengan kejadian hujan intensitas ringan-sedang secara terus menerus dapat mengakibatkan banjir.Volume hujan yang terjadi tidak mampu terserap dalam tanah sehingga langsung menjadi aliran permukaan atau genangan, seperti yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di beberapa kota di Pulau Jawa seperti Bekasi, Kerawang, Pantura Pulau Jawa dan Semarang.
BACA JUGA: PLN Berhasil Pulihkan 92 Persen Sistem Kelistrikan Terdampak Banjir di Semarang
Sementara itu, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak 1 Januari hingga 9 Februari 2021 tercatat 386 kejadian bencana di Indonesia. Bencana didominasi oleh banjir, puting beliung dan tanah longsor.Berdasarkan angka dan jenis kejadian bencananya, total 386 bencana itu terdiri dari bencana banjir sebanyak 232 kejadian, puting beliung 73 kejadian, tanah longsor 62 kejadian, gelombang pasang dan abrasi sebanyak 8 kejadian, 7 kali gempa bumi dan 4 kejadian berupa kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Dampak bencana alam tersebut telah menyebabkan 213 orang meninggal dunia, 12.060 orang mengalami luka-luka, 7 orang hilang dan 1.992.739 lainnya menderita dan mengungsi.
BACA JUGA: Susi Pudjiastuti Minta Tolong ke Jokowi Imbau Masyarakat Hentikan Ujaran Kebencian
Selain merenggut korban jiwa dan ribuan lainnya menderita, dampak bencana alam juga menyebabkan kerusakan rumah dan fasilitas umum, dengan total 47.357 rumah rusak terdiri dari 4.452 rusak berat, 5.336 rusak sedang dan 37.569 rusak ringan.Sementara itu, dari total 1.216 fasilitas umum yang rusak akibat bencana, 609 kerusakan di antaranya adalah berasal dari fasilitas pendidikan, 515 fasilitas peribadatan, dan 92 fasilitas kesehatan.
BACA JUGA: Perahu Tabrak Batuan, Puluhan Warga Nyebur ke Laut Bantu Perahu Tabrak Batuan
Adapun 200 bangunan kantor dan 74 jembatan juga rusak akibat kejadian bencana alam tersebut.Selain bencana alam, pada 13 April 2020 pemerintah juga menetapkan penyebaran COVID-19 di Indonesia sebagai bencana nasional non-alam yang saat ini telah menyebabkan total 1.174.779 orang terkonfirmasi, 973.452 orang sembuh dan 31.976 orang meninggal dunia.(gw/fin)