News . 03/02/2021, 13:00 WIB
JAKARTA - Sejumlah alasan dikemukakan agar pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan. Pejabat Sementara (Pjs) yang menduduki posisi kepala daerah selama dua tahun dianggap tidak efektif. Perlu kepemimpinan yang definitif di masa pagebluk.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini misalnya. Ia mengusulkan agar pelaksanaan pilkada dapat dinormalisasi pada 2022 dan 2023 dan tidak dikumpulkan semua (serentak) di tahun 2024. Alasan Fraksi PKS, supaya ada kepemimpinan yang defenitif dan tidak terlalu panjang masa jabatan Pjs.
Anggota Komisi I DPR ini melanjutkan, penyelenggaraan pilkada di 2024 berdekatan dengan pemilu presiden dan wakil presiden. Termasuk pemilu legislatif. Hal ini akan menimbulkan beban ekonomi dan politik yang besar serta beban juga bagi penyelenggara untuk fokus mempersiapkannya.
Di samping itu, lanjut Jazuli, dengan pilkada dipisah dari pemilu presiden-wapres akan memperluas stok calon pemimpin nasional tersebut yang datang dari kepala-kepala daerah yang dinilai sukses oleh rakyat. “Tentu ini bagian strategis yang harus kita pikirkan bersama,” ujarnya Jazuli.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan, jika pelaksanaan Pilkada di 2024, akan sangat berat bagi penyelenggara pemilu. Pelaksana tugas Ketua KPU Ilham Saputra menegaskan, berkaca dari pengalaman 2019 lalu, banyak KPPS yang merasa kelelahan dan tugasnya tidak selesai.
Termasuk memberkan pendidikan bagi pemilih. Jika Pilkada dan Pilpres dilakukan pada 2024, ada kekhawatiran jika pemilih merasa jenuh. "Apakah masyarakat tidak jenuh, bagaimana kalau jenuh. Ini harus menjadi catatan kita bersama," tambah Ilham.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid ikut menyoroti ambang batas presiden. DPR dan Presiden harus meninjau kembali soal besaran pengaturan ambang batas pencalonan presiden.
HNW, sapaan akrabnya, menuturkan bahwa besaran PT yang sebesar 20 persen yang berlaku saat ini dan sudah dipraktikkan pada Pilpres tahun 2014 dan 2019, telah menimbulkan banyak dampak-dampak negatif.
"Sehingga rakyat dipaksa tidak memiliki banyak pilihan. Banyak tokoh bangsa yang sangat layak memimpin Indonesia. Tidak bisa dimajukan dalam kontestasi Pilpres karena tersandung dengan ketentuan soal Presidensial Treshold tersebut,” ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, ada lagi masalah serius yang berdampak panjang dengan hanya dua kandidat yang maju sebagai Capres/Cawapres yaitu terjadinya pembelahan di masyarakat sejak dari tingkat rumah tangga ke skala negara.
Bahwa adanya pembatasan akan hadirkan pembelahan dan tidak adanya alternatif calon kepemimpinan nasional.
"Karena faktanya dalam Pilpres di Indonesia khususnya pada 2004 dan 2009 juga sudah diberlakukan pembatasan Presidential Treshold, sebesar 15 persen, dan menghadirkan alternatif calon Presiden yang cukup ; 5 kandidat (thn 2004) serta 3 kandiddat (2009),” papar HNW.
Dan sesudah Pilpres, juga tidak terjadi pembelahan ditengah masyarakat, sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014 & 2019. Hal tersebut terjadi antara lain karena besara PT disepakati diangka yang proporsional.
"Wajar saja bila pemerintah dan DPR mempertimbangkan besaran Presidential Treshold yang sesuai dengan Electoral Treshold yang diberlakukan untuk Pileg. Yang besarannya pada Pileg 2019 sebesar 4 perseb, yang kemungkinan akan naik, tapi tak melebihi 5 persen,” urainya.
Menurut HNW, pengaturan PT sebesar 4 atau 5 persen itu merupakan win win solution, dan solusi proporsional dimana ada pihak yang ingin tetap 20 persen dan ada pihak yang ingin PT dihapuskan sama sekali atau 0 persen.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com