JAKARTA – Masih ada permasalahan ketatanegaraan dan administrasi negara terkait hak pilih., Salah satunya bagi kelompok masyarakat rentan. Lembaga Pengawas Pemilu berharap ada pasal dalam Undang-Undang yang mengatur kelompok masyarakat rentan di masa depan.
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, salah satu kelompok masyarakat rentan yakni masyarakat adat yang tinggal di hutan lindung. Dia menjelaskan, mereka tidak bisa memilih karena tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Sedangkan syarat mutlak menyalurkan hak pilih yang diatur dalam UU adalah memiliki KTP.
“Ini pekerjaan rumah (PR) terbesar bagaimana kedepan dalam menyelenggarakan pemilu. Apakah kemudian karena tidak memiliki KTP mereka tidak bisa memilih?,” ungkap Bagja lewat keterangan resmi, Kamis (20/10).
BACA JUGA: Nathalie Holscher Blak-blakan Sebut Bagian Tubuh Sule yang Disukainya
Dia menegaskan harus ada perubahan paradigma mengenai pencatatan kependudukan. Menurutnya, harus ada perubahan mendasar tentang anggapan masyarakat hukum adat yang berdasarkan interpretasi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus masyarakat hukum adat sebagai sebuah subjek atau identitas hukum tersendiri.“Kita harus sudah mulai merancang bagaimana masyarakat adat ini punya identitas tersendiri atau KTP khusus bagi mereka. Ini harus ada perbincangan serius terkait masalah ini. Untuk kasus seperti ini harus ada pengecualian,” ungkap Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu.
Selian itu, lanjut Bagja, infrastruktur terhadap disabilitas harus diperhatikan. Jangan sampai masyarakat rentan tidak medapatkan hak sesuai dengan kebutuhannya. Di TPS saja, lanjut Bagja, terkadang sulit bagi disabilitas untuk menyalurkan hak pilihnya.
BACA JUGA: Besok F4 Gelar Reuni, Lihat Tampilan Terkini Jerry Yan hingga Vic Zhou
“Jalan sempit dan tidak ada akses untuk kursi roda. Ini juga harus kita pikirkan kedepan,” ujarnya.Menurutnya, persolan masyarakat adat dan disabilitas harus menjadi perhatian dalam RUU kedepan. Dia berharap baik dari NGO dan penyelenggara pemilu bisa memperjuangkan 1 atau 2 pasal yang mengatur masyarakat rentan.
“Ini yang harus dipikirkan kedepan bagaimana memasukkan ini kedalam rumusan UU. Inilah yang harus didorong untuk memasukkan 1 atau 2 pasal tentang kelompok rentan,” imbuhnya.
Terpisah, Bawaslu juga memberikan bimbingan teknis (Bimtek) penyusunan keterangan tertulis perselisihan hasil pemilihan (php) bagi Bawaslu provinsi, kabupaten, dan kota yang akan melaksanakan Pilkada Serentak 2020.
BACA JUGA: Soal Hukum Mati Bagi Penghina Nabi, Ustad Hilmi Sarankan Abu Janda Baca Sirah Nabawiyah
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menegaskan pemberian keterangan tertulis PHP di MK tidak sekadar memberikan jawaban terkait jawaban pemohon saja, melainkan juga sebagai ajang pembuktian kerja pengawasan yang telah dilakukan."Menulis keterangan tertulis bukan sekadar memberikan jawaban terkait dengan jawaban pemohon. Tetapi kita bisa membuktikan kinerja kawan-kawan sekalian," kata Fritz. Ia menjelaskan keterangan tertulis di MK sebagai salah satu cara menampilkan kerja-kerja pengawasan di lapangan baik itu pengawas tingkat kecamatan, desa, maupun kelurahan atau desa.
"Seluruh kerja keras kita (Bawaslu) akan teruji pada saat sidang di MK apapun yang kalian (Bawaslu daerah) lakukan apapun yang kalian kerjakan. Kerja keras pontang panting bikin kajian dan gagal di pembahasan satu atau yang lainnya semua itu akan di uji di MK," tegasnya.
Dalam Bimtek tersebut Fritz menjelaskan empat pokok penyusan keterangan tertulis yaitu pokok permohonan, data hasil pengawasan, dokumen dan bukti, dan putusan rapat pleno. "Dalam membuat keterangan tertulis harus sesuai dengan apa yang telah disetujui oleh rapat pleno dengan bukti-bukti yang telah disampaikan," tandasnya. (khf/fin)