JAKARTA - Penyelenggaraan Pilkada rentan dengan tindak pidana korupsi. Tingginya biaya yang harus dikeluarkan peserta pilkada dapat menjadi pintu masuk bagi timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan pembekalan terhadap pasangan peserta dan penyelenggara Pilkada Serentak 2020. KPK berpesan agar para calon kepala daerah membenahi tata kelola pemerintahan saat terpilih nanti guna mencegah praktik korupsi.
"Sesungguhnya untuk mencegah korupsi bisa dilakukan cara dengan perbaikan sistem," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam webinar bertajuk Pilkada Berintegritas 2020, Selasa (20/10).
Menurut Firli, korupsi terjadi salah satunya disebabkan sistem. Sistem yang gagal, sistem yang buruk dan sistem yang lemah membuka celah terjadinya korupsi. Untuk itu, Firli meminta para calon kepala daerah yang bertarung dalam Pilkada Serentak 2020 untuk menganalisis dan memperbaiki sistem pemerintahan yang saat ini berjalan.
BACA JUGA: Billy Syahputra Malu Usai Pose Vulgarnya dengan Amanda Manopo Beredar
“Tolong dilihat, kira-kira sistem pemerintahan mana yang lemah, buruk dan gagal, dan mulai sekarang dikoreksi. Sehingga, ketika duduk sebagai kepala daerah langsung punya pekerjaan," jelasnya.Firli juga mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada. Ia mengatakan, tingginya biaya yang harus dikeluarkan peserta untuk mengikuti pilkada dapat menjadi pintu masuk bagi timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih.
"Oleh karena itu, sejak awal pemilihan, pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah harus mengetahui bagaimana menghindari potensi munculnya benturan kepentingan,” ujar Firli.
Berdasarkan hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK pada 2015, 2017, dan 2018, ungkap Firli, ditemukan potensi adanya benturan kepentingan yang berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur.
BACA JUGA: Selain Bercadar, Five Vi Juga Potong Kartu Kredit Karena Takut Dosa Riba
Sumbangan donatur, sebagai pengusaha, sambung Firli, memiliki konsekuensi pada keinginan untuk mendapatkan kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis. Temuan survei KPK pada 2018 memperlihatkan bahwa 83,8 persen calon berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika calon memenangkan Pilkada.“Hasil survei KPK menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Hadirnya donatur disebabkan karena adanya gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon, di mana harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai pilkada,” ucapnya.
Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 Miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp15,17 juta. Padahal, berdasarkan wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp5-10 Miliar, yang bila ingin menang idealnya mesti mempunyai uang Rp65 Miliar.
BACA JUGA: Di Depan Nagita, Raffi Ahmad Lantang Beber Alasan Putus dari Semua Mantannya
Banyak kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi. Hingga Juli 2020, sebanyak 21 gubernur dan 122 bupati/walikota/wakil terjerat korupsi yang ditangani oleh KPK. Sebab itu, lanjutnya, KPK menyuarakan pentingnya pilkada berintegritas yang menghasilkan kepala daerah yang bebas benturan kepentingan.Sementara itu, Pelaksana Harian (Plh) Ketua KPU Ilham Saputra mendorong seluruh pasangan calon dan para pemilih dalam pilkada untuk mewujudkan pilkada berintegritas. KPU, katanya, selalu menyampaikan kepada konstituen dalam setiap program pendidikan pemilih untuk menolak politik uang.
“Kami menegaskan tolak politik uang dalam setiap sesi pendidikan pemilih oleh KPU. Kami juga mendorong peserta pilkada menandatangani pakta integritas. Di samping itu, KPU telah mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), di mana salah satu tujuannya adalah mendorong keterbukaan peserta pilkada terhadap aliran dana kampanye mereka,” tutur Ilham.
Ketua Bawaslu Abhan menyatakan kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi. Penyelenggaraan pilkada berintegritas merupakan syarat mutlak terwujudnya pilkada berkualitas. Politik uang, katanya, merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih, yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.
BACA JUGA: Nekat Buka, Karaoke Dirazia dan Ditutup Paksa
“Dampak politik uang adalah mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi dimana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong,” tandas Abhan.Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan, kesuksesan pilkada merupakan orkestrasi dari sejumlah elemen, baik pemerintah pusat dan daerah, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan masyarakat. Dari sisi anggaran, misalnya, Tito mengatakan pemerintah pusat telah menganggarkan dana dari APBN, dan telah pula ditransfer ke daerah yang akan menyelenggarakan pilkada.
BACA JUGA: Dewi Tanjung Semprot Marissa Haque: Norak, Apa Hubungannya Omnibus Law dengan Surga
“Berdasarkan data per Oktober 2020, realisasi APBN 2020 untuk penyelenggaraan pilkada telah mencapai 98,04 persen. Anggaran APBN 2020 untuk pilkada adalah sebesar Rp15,19 Triliun, dengan realisasi serapan sebanyak Rp14,89 Triliun. Jadi, anggaran yang belum ditransfer adalah Rp297,87 Miliar,” kata Tito.Selain itu, Tito berpesan bahwa jangan sampai pesta demokrasi pilkada menjadi pesta transaksional untuk kemenangan pasangan calon tertentu. Lebih dari itu, sebut Tito, jangan sampai ada kampanye hitam yang menyebarkan informasi bohong atau hoax. Bila ini terjadi, tegasnya, dirinya tak akan segan-segan melaporkan ke Polisi untuk memidanakannya sebagai pidana kebohongan publik. (riz/gw/fin)