News . 02/10/2020, 13:53 WIB
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan upaya Peninjauan Kembali (PK) mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. KPK berpandangan, ini merupakan cerminan belum adanya komitmen dan visi antar-aparat penegak hukum yang sama menyangkut korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
"Bagi KPK ini cerminan belum adanya komitmen dan visi yang sama antar-aparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa," ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri melalui pesan singkat, Kamis (1/10).
Sejak awal, kata dia, KPK telah menaruh perhatian serta prihatin terhadap sejumlah putusan PK yang dikabulkan MA. Sebab, hal itu mengurangi pemidaan yang harus ditanggung para koruptor.
"Kami tegaskan kembali sekalipun PK adalah hak dari terpidana sebagaimana yang ditentukan UU namun pada gilirannya masyarakat juga akan ikut mengawal dan menilai rasa keadilan pada setiap putusan majelis hakim tersebut maupun terhadap kepercayaan MA secara kelembagaan," kata Ali.
Senada, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyerahkan penilaian atas putusan-putusan PK tersebut kepada masyarakat. Ia mengatakan, yang terpenting KPK telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai institusi penegakan hukum.
Berdasarkan data KPK, Anas Urbaningrum merupakan terpidana korupsi ke-23 yang mendapatkan pengurangan hukuman di tingkat PK sepanjang 2019 hingga 2020. Hingga kini, KPK mengaku belum menerima salinan putusan-putusan PK tersebut secara resmi dari MA.
Menanggapi hal ini, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menilai sejumlah protes yang dilayangkan KPK terkait putusan PK sebagai hal yang wajar. Karena, menurutnya, KPK dalam posisi ini selaku penyidik sekaligus penuntut umum.
"Pertanyaan KPK sah-sah saja, karena KPK selaku penyidik dan penuntutnya," kata Abdullah.
Terlebih, sambungnya, seluruh hakim baik di tingkat pertama, banding, kasasi, hingga PK memiliki independensi dan dalam mengadili suatu perkara tidak dapat diintevensi pihak manapun.
"Ada kala kalanya hakim tingkat banding, kasasi, dan PK sependapat dengan majelis hakim tingkat pertama. Adakalanya tidak sependapat. Putusannya bisa saja sama, lebih rendah atau bebas dan bisa lebih tinggi," ucapnya.
Adapun terkait salinan putusan PK yang belum KPK terima secara resmi, Abdullah menyatakan, tengah melalui proses minutasi atau pemberkasan perkara. Kecepatan prosesnya, kata Abdullah, dipengaruhi oleh sejumlah hal. Apalagi, menurutnya, Jakarta kini tengah menerapkan PSBB yang berpengaruh terhadap kecepatan proses minutasi.
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meragukan keberpihakan MA dalam pemberantasan korupsi. Kesimpulan itu bukan tanpa dasar, tren vonis koruptor tahun 2019 menunjukkan bahwa rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
Menurut Kurnia, setidaknya ada dua implikasi serius yang timbul akibat putusan PK tersebut. Pertama, pemberian efek jera akan semakin menjauh. Kedua, kinerja penegak hukum, dalam hal ini KPK, akan menjadi sia-sia saja.
"Putusan demi putusan PK yang dijatuhkan Mahkamah Agung, di antaranya Anas Urbaningrum, sudah terang benderang telah meruntuhkan sekaligus mengubur rasa keadilan masyarakat sebagai pihak paling terdampak praktik korupsi," tegas dia.
Oleh karena itu, ICW menuntut agar Ketua MA mengevaluasi penempatan hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com