Suramnya Pemberantasan Korupsi

fin.co.id - 01/10/2020, 02:34 WIB

Suramnya Pemberantasan Korupsi

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

"Memutus perkara merupakan kewenangan hakim, sesuai dengan rasa keadilan majelis hakim yang bersangkutan. Hakim atau majelis hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapapun," tandas Abdullah.

BACA JUGA:  Vandalisme di Mushollah, Ferdinand: Pelaku Bukan Non Muslim, Itu Kaum Intoleran

Abdullah meminta kepada seluruh lapisan masyarakat agar mengormati putusan hakim. Ia pun mengingatkan bagi siapapun agar lebih bijak membaca putusan terlebih dulu sebelum melontarkan komentar.

"Setelah mengetahui legal reasoningnya baru memberikan komentar, kritik maupun saran saran. Putusan tidak bisa dipahami hanya dengan membaca amarnya saja," ucapnya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri menyatakan, lembaga antirasuah hingga kini belum menerima salinan putusan lengkap sebanyak 22 perkara yang mendapat pengurangan hukuman dari MA. Ia berharap MA dapat segera mengirimkan salinan tersebut agar bisa dijadikan pembelajaran lebih lanjut oleh KPK mengenai pertimbangan majelis hakim.

"Saat ini setidaknya masih ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para napi korupsi," ucap Ali.

Ali mengatakan, para pemangku kepentingan dan masyarakat sepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang berdampak besar terhadap kehidupan manusia. Maka dari itu, salah satu upaya untuk memberantas korupsi yakni melalui pemberian efek jera dalam menghukum koruptor agar calon pelaku lain tidak akan melakukan kejahatan yang sama.

BACA JUGA:  Ilham Aidit Sindir KAMI: Kalau Mau Nyapres di 2024, Ga Usah Koar-koar Bawa Isu PKI

Ia pun mengingatkan PK jangan sampai dijadikan modus baru bagi koruptor untuk mengurangi hukuman. Sekalipun PK merupakan hak terpidana.

"Fenomena ini seharusnya dapat dibaca bahwa sekalipun PK adalah hak terpidana namun dengan banyaknya permohonan PK perkara yang misalnya baru saja selesai eksekusi pada putusan tingkat pertama jangan sampai dijadikan modus baru para napi koruptor dalam upaya mengurangi hukumannya," tegasnya.

Diketahui MA mengabulkan PK yang diajukan dua mantan Pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto selaku terpidana korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP).

Keduanya mendapat pengurangan hukuman yang berbeda. Hukuman Irman dikurangi menjadi 12 tahun dari sebelumnya 15 tahun di tingkat kasasi, sementara Sugiharto dijatuhi hukuman 10 tahun dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi.

"Pertimbangan majelis hakim PK mengabulkan permohonan PK pemohon/terpidana antara lain terpidana telah ditetapkan oleh KPK sebagai juctice collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro ketika dikonfirmasi, Rabu (30/9).

Selain itu, majelis hakim juga menilai keduanya bukan pelaku utama dalam kasus tersebut. Keduanya juga dinilai telah memberikan keterangan serta bukti-bukti yang signifikan, sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya.

Adapun majelis hakim yang memutus dua perkara tersebut yakni Suhadi selaku ketua hakim, serta dua anggota masing-masing Krisna Harahap dan Sri Murwahyuni. Namun putusan ini diwarnai Dissenting Opinion (DO) di antara para hakin.

"Namun demikian putusan PK kedua perkara tersebut hasil musyawarah majelis hakim PK tidak bulat, karena ketua majelis Suhadi menyatakan 'Dissenting Opinion' (DO). Suhadi menyatakan DO, karena terpidana a quo memiliki peran yang menentukan yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran," kata Andi Samsan.(riz/gw/fin)

 

 

Admin
Penulis