JAKARTA - Paskadiberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta, kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di ibukota tetap tinggi. Namun dampak yang ditimbulkan justru semakin memperburuk perekonomian dan kesejahteraan warga.
Pengamat ekonomi Rustam Ibrahim meminta agar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut aturan PSBB. Hal ini untuk mengantisipasi keterpurukan ekonomi masyarakat."Seketat apa pun PSBB tidak akan mampu lagi mengendalikan penyebaran COVID-19, terutama di Jakarta dan kota-kota besar di Pulau Jawa karena sulitnya 'social distancing' di daerah padat penduduk. Alih-alih pandemi COVID-19 hilang, ekonomi rakyat kecil jadi korban," ujarnya di Jakarta, Kamis (24/9).
BACA JUGA: Unggah Foto, Nia Ramadhani Malah Ditagih Karyawan yang Belum Gajian
Dikatakannya, penerapan PSBB yang diperketat di Jakarta tetap tak mampu mengendalikan jumlah pasien yang terpapar COVID-19. PSBB menurutnya hanya bersifat sementara mengendalikan penyebaran COVID-19."Begitu PSBB dilonggarkan kembali maka penyebaran virus meningkat lagi," ungkap Ketua Dewan Pengawas Lembaga Penelitian Pendidikan Penerapan Ekonomi dan Sosial itu.
Dicontohkannya, DKI Jakarta. Setelah diberlakukannya PSBB dan dilanjutkan PSBB transisi beberapa kali, jumlah penderita COVID-19 justru tetap meningkat.
Dia pun mengkhawatirkan keterpurukan ekonomi masyarakat menengah bawah, jika PSBB ketat tetap diberlakukan.
"Bagi rakyat kecil, penyakit akibat kemiskinan atau kelaparan bisa lebih parah dan menyebabkan tingkat kematian jauh lebih tinggi," ucap Rustam.
BACA JUGA: Lutfi Agizal Ngomong Anjayani, Netizen Bandingkan dengan Odading Mang Oleh
Rustam meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah sinergis dan fokus terhadap pengawasan protokol kesehatan secara tegas, serta konsisten.Senada, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai dampak kebijakan PSBB ketat di DKI Jakarta akan membayangi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester kedua 2020.
"Perkembangan ekonomi sektoral kuartal III dan IV dibayangi risiko dampak penerapan PSBB di wilayah DKI Jakarta sejak tanggal 14 September dan resiko akibat peningkatan kasus COVID-19," ujarnya.
Dijelaskannya, sektor jasa seperti, perdagangan, transportasi, hotel, restoran dan jasa-jasa perusahaan, akan mengalami pemulihan yang relatif lambat dari perkiraan semula. Ini diakibatkan karena peningkatan kasus positif COVID-19.
"Demikian pula sektor industri pengolahan, pemulihannya mengikuti pola umum peningkatan ekonomi nasional. Sebab sangat tergantung perbaikan daya beli dan confidence masyarakat sehingga mulai membelanjakan uangnya," terangnya.
Meski demikian, lanjutnya, sektor komoditas kelapa sawit dinilai bisa menjadi katalis positif yang mendorong perekonomian Indonesia ke depan. Terutama di sentra-sentra perkebunan sawit di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
BACA JUGA: Langgar Kode Etik, Katua KPK Firli Bahuri Diputuskan Bersalah
"Harga minyak kelapa sawit sampai akhir tahun, kami perkirakan masih akan bertahan di tingkat harga USD 700 per ton (FOB Malaysia)," ujarnya.Dikatakannya, kinerja beberapa industri akan mengalami perbaikan dibandingkan kuartal II karena kondisi di kuartal II yang merupakan titik terendah akibat penerapan PSBB ketat.
Pada Kuartal III 2020, khususnya Juli dan Agustus, berbagai indikator telah menunjukkan perbaikan kegiatan ekonomi dibandingkan April dan Mei 2020.
Dia mencontohkan, penjualan kendaraan bermotor sudah mengalami kenaikan. Pada Agustus 2020 jumlah penjualan mencapai 37.291 unit, padahal pada Mei mencapai titik terendah yaitu 3.551 unit.