JAKARTA - DPR RI saat ini tengah menggodok Rancangan UU (RUU) Kejaksaan, yakni UU Nomor 16 Tahun 2004. Polemik pun muncul. Ada yang menyebut RUU tersebut mengancam tugas pokok, fungsi serta kewenangan Polri. Sebab, Kejaksaan akan memiliki wewenang dari hulu hingga hilir. Namun, ada pula yang menilai hal itu diperlukan agar aparat penegak hukum terhindar sebagai alat politik.
"Dalam RUU tersebut, penegakan hukum akan mengutamakan Sistem Pengawasan Kewenangan. Sehingga terwujud sistem peradilan pidana terpadu. Ini sesuai harapan masyarakat dan bertujuan lebih melayani pencari keadilan, melindungi dan menjaga demokrasi, mencegah penegak hukum jadi alat politik," ujar pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji di Jakarta, Jumat (11/9).
Revisi yang dimaksud adalah pasal 30 ayat 5 yang mengatur wewenang dan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum. Yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum. Hal ini meliputi, kewenangan selaku intelijen penegakan hukum, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum.
Selain itu, ada juga pengawasan peredaran barang cetakan dan multimedia, pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring.
Menurut Indriyanto, pasal-pasal dalam RUU Kejaksaan itu masih dalam batas linear sistem peradilan pidana terpadu. "Revisi UU tersebut dari sisi filosofis, yuridis, hukum tata negara dan hukum pidana memiliki dua aspek yang tidak menyimpangi prinsip due process of law. Ini masih dalam batas koridor linear ICJS," jelasnya.
Dalam sistem hubungan wewenang penyidikan-penuntutan dalam revisi UU itu justru berkarakter hukum pidana modern. Yakni mengakui adanya pemisahan, (Distribution of Powers) antara polisi dan kejaksaan. Termasuk bentuk tugas dan fungsi kewenangan pro justitia.
Oleh karena itu, distribusi kewenangan adalah legitimatif terhadap prinsip koordinasi dan kooperasi antara polisi dan jaksa. "Model ini meminimalisasi ego sektoral antara dua lembaga," imbuhnya.
Terkait polemik ada tidaknya perluasan wewenang pro justitia kejaksaan, lanjut Indriyanto, adalah sesuatu yang wajar. "Asalkan wewenang itu tetap dalam sistem pengawasan dari lembaga hakim sebagai garda pengawasan justisial. Karena itu RUU Kejaksaan harus menyesuaikan dan tidak menyimpang dari RKUHAP," jelasnya.
Indriyanto menjelaskan bila benar ada perluasan wewenang pro justitia, model distribution of powers ini harus tetap berbasis checks and balances system.
"Sehingga prinsip equal arms antara Polisi dan Jaksa tetap terjaga. Misalnya model koordinasi yang baik antara penegak hukum," ucap Indriyanto.
Sementara itu, pengamat kepolisian Irjen Pol (Purn) Sisno Adiwinoto . menyebut RUU tersebut sebagai ancaman bagi tugas pokok, fungsi serta kewenangan Polri.
Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Kepolisian (ISPPI) itu mengatakan, RUU Kejaksaan dapat membawa hukum acara pidana melangkah mundur ke posisi zaman Reglement Indonesia Diperbaharui (RIB) warisan kolonial Belanda.
"Tentunya banyak kalangan, khususnya ISPPI mempertanyakan mengapa Rancangan Perubahan atas UU 16/2004 yang muatan materinya banyak bertentangan dengan KUHAP dan tidak sinkron dengan tupoksi aparat hukum lainnya. Terutama kewenangan Polri," ujar Adiwinoto.
RUU Kejaksaan, lanjutnya, akan memiliki aspek perubahan yang sangat besar dan erat kaitannya dengan kewenangan penyidikan lanjutan yang dimiliki Kejaksaan Agung.
Padahal, dalam Pasal 284 Ayat (2) UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa 2 tahun setelah berlakunya UU KUHAP tersebut semua penyidikan dilakukan hanya oleh Polri dan penyidik pegawai negeri sipil.