JAKARTA - Pemerintah mulai menggaungkan resesi ekonomi. Alasannya, pandemi Coronavirus (Covid-19) yang tak bisa diprediksi kapan usai hingga anjloknya konsumsi masyarakat dunia, mengancam Indonesia di titik terbawah. Publik berharap, kabinet kerja yang dibangun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin bisa keluar dari fenomena yang terjadi.
”Ini sebaliknya menjadi pembuktian atas kabinet yang ada. Buktikan kepercayaan publik, dan bangun trust bahwa kita bisa bangkit. Mental publik terutama pengusaha dewasa begitu turun, saat resesi itu disampaikan oleh para menteri,” jelas Pengamat Politik Maruly Hendra Utama, Senin (31/8).
Akademisi dari Universitas Lampung itu menekankan, Pemerintah memiliki pegangan dalam menata sendi ekonomi bukan hanya menjelang masa krisis. ”Bangun konsep ketahanan ekonomi hingga akhir 2021. Berapa subsidi yang dibutuhkan, berapa neraca beban yang harus ditanggung, dan bagaimana solusinya. Tentu masukan dari DPR pun dibutuhkan pada posisi ini,” jelas Maruly kepada Fajar Indonesia Network (FIN).
BACA JUGA: Depok Bakal Berlakukan Jam Malam, Bagaimana Mekanismenya?
Dari catatan yang ada, sambung dia pertumbuhan ekonomi yang jatuh ke minus 5,32 persen, pengangguran yang bertambah 3,05 juta, dan sudah masuk resesi merupakan imbas dari pandemi Covid-19 yang belum bisa ditanggulangi oleh pemerintah. Kemudian, kata dia lagi, pemerintah juga harus evaluasi kebijakannya dalam hal job description para menterinya. ”Pak Menterinya harus bangun, tampil percaya diri dong. Selanjutnya Menko-nya evaluasi lagi tempatkan orang-orang penting pada tempatnya,” papar mantan Aktivis 98 itu.Beberapa kelemahan pemerintah dalam hal menangani pandemi, sehingga gagal menghentikan Covid-19 menjadi ruang buruk. Publik berharap pemerintah mampu menekankan agar Presiden tegas dalam mengimplementasikan harapan publik. ”Implementasi new normal, tidak terbukti. Wabah makin meluas. Apa seperti ini yang diharapkan, tentu tidak tho. Maka jika saat ini momentumnya tepat untuk melakukan reshuffle, segeralah lakukan,” tegasnya.
Terpisah, Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Demokrat Syarief Hasan berpendapat kasus harian positif Covid-19 di Indonesia kembali mencetak rekor dan menjadi konfirmasi ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan menekan laju pandemi, sehingga mempertanyakan langkah pemerintah dalam menanganinya.
BACA JUGA: Kesulitan Cari Tabung Gas Melon, Warga Harus Cepat-cepat Amankan Stok
Syarief Hasan mempertanyakan langkah pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. ”Pemerintah seharusnya mampu menekan laju penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia dengan berbagai sumber daya yang dikelola pemerintah. Apalagi, pemerintah telah dibekali Perppu 1/2020, dan Undang-Undang Nomor 2/2020 anggaran jumbo, dan sumber daya lainnya yang sangat besar untuk penanganan dan penekanan laju pandemi,” jelasnya.Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan akan tembus 200.000 orang terinfeksi Covid-19 dalam waktu beberapa bulan ke depan. Angka saat ini juga menempatkan Indonesia di urutan ke-9 sebagai negara dengan kasus positif terbesar di benua Asia.
Jumlah kasus itu, juga melampaui kasus positif di Cina yang merupakan episentrum awal pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari Worldometers, jumlah kasus positif Covid-19 di China hanya 85.013, dengan rata-rata kasus harian sebulan terakhir di bawah 10 kasus. Data dari World Health Organization (WHO) pun menunjukkan bahwa positivity rate Indonesia masih sangat tinggi. Positivity rate adalah persentase kasus positif dibanding total kasus yang diperiksa.
BACA JUGA: 100 Dokter Gugur Akibat Covid-19, Fahri Hamzah Minta Jokowi dan Menkes Berbuat Sesuatu
Positivity rate di Indonesia terbilang tinggi yaitu 12,63 persen. Sedangkan menurut WHO, idealnya, positivity rate yang aman adalah di bawah 5 persen. Syarief Hasan juga mendorong pemerintah untuk mengikuti rekomendasi WHO yang menyatakan bahwa seharusnya pemerintah melakukan tes terhadap masyarakat minimal 5 persen dari total populasi.Terpisah, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memaparkan tiga strategi agar Indonesia terhindari dari resesi yakni akselerasi eksekusi Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), memperkuat konsumsi pemerintah, dan konsumsi masyarakat.”Maka mengoptimalkan peran belanja pemerintah menjadi penting untuk menstimulasi roda ekonomi,” kata Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso di Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (31/8).
Dalam pemaparannya, akselerasi eksekusi Program PEN dilakukan dengan mempercepat penyerapan dan ketepatan sasaran yang terus diperbaiki pada penyaluran berikutnya untuk program yang ada dan sudah memiliki alokasi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Hingga 26 Agustus 2020 realisasi penyerapan PEN mencapai Rp192,53 triliun atau 27,7 persen dari pagu anggaran mencapai Rp695,2 triliun. Sedangkan dari total pagu anggaran itu sebanyak Rp145,34 triliun belum masuk DIPA, sisanya yakni sebesar Rp393,84 triliun sudah masuk DIPA, dan tanpa DIPA mencapai Rp156 triliun (insentif perpajakan).
BACA JUGA: BPJS Kesehatan Tigaraksa Terus Beri Informasi Program JKN-KIS Hingga ke Pelosok
Kemudian program usulan baru yang tidak didukung data valid dan membutuhkan perubahan regulasi yang rumit dialihkan untuk penguatan program yang sudah ada.Untuk memperkuat konsumsi pemerintah, lanjut dia, pemerintah mendorong penguatan belanja pegawai sebagai instrumen pendorong pertumbuhan di antaranya percepatan pencairan gaji ke-13.Selain itu, lanjut dia, percepatan belanja barang untuk mendukung pola kerja baru seperti kerja dari rumah (WFH). Belanja barang yang sulit dicairkan direlokasi untuk mendukung digitalisasi birokrasi. Sedangkan belanja modal yang sulit dieksekusi, lanjut dia, perlu realokasi untuk pencairan yang lebih cepat mendukung infrastruktur digitalisasi layanan publik dan relaksasi kebijakan pengadaan barang dan jasa.
BACA JUGA: Diduga Pesanan Napi, Petugas Lapas Temukan Sabu dan Tembakau Gorilla
Sementara itu untuk memperkuat konsumsi masyarakat, kata dia, dilakukan akselerasi belanja bantuan sosial dengan modifikasi belanja perlindungan sosial di antaranya besaran dinaikkan, frekuensi ditambah, dan periode diperpanjang. Kemudian dapat dilakukan melalui penambahan indeks program perlindungan sosial yang bisa dilaksanakan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), sembako, hingga bansos tunai.Adapun program perlindungan sosial yang saat ini sedang dilaksanakan pemerintah di antaranya Bantuan Presiden (Banpres) Produktif untuk pelaku usaha mikro sebesar Rp2,4 juta dengan target 12 juta pelaku usaha. Selanjutnya subsidi gaji bagi pekerja dengan penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan hingga subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) super mikro dengan total subdisi mencapai 19 persen. (fin/ful)