6 Tahun Penjara dan Penolakan JC

fin.co.id - 25/08/2020, 08:34 WIB

6 Tahun Penjara dan Penolakan JC

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan enam tahun penjara dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR terpilih periode 2019-2024. Selain itu, Wahyu juga divonis denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.

"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," ujar Ketua Majelis Hakim Susanti Arsi Wibawani saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (24/8).

Majelis hakim menyatakan Wahyu terbukti secara sah dan meyakinkan menerima uang suap terkait PAW anggota DPR RI F-PDIP senilai SGD57.350 atau setara Rp 600 juta. Hakim mengatakan uang itu diterima Wahyu Setiawan guna memuluskan langkah bekas Caleg PDIP Harun Masiku untuk menduduki kursi di Senayan melalui mekanisme PAW.

BACA JUGA:  Ekspresi Datar Pelaku Penembakan 51 Orang di Masjid Saat Dengar Testimoni Keluarga Korban

Selain itu, majelis hakim juga menyatakan Wahyu terbukti menerima gratifikasi senilai Rp500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan terkait proses seleksi di KPUD Papua Barat. Uang itu disebut diberikan melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat Rosa M Thamrin Payapo dan bertujuan agar Wahyu mengupayakan orang asli Papua terpilih menjadi anggota KPUD.

"Menetapkan penangkapan dan penahanan dikurangkan seluruhnya," kata Susanti.

Majelis hakim juga menolak permohonan Wahyu Setiawan untuk menjadi "justice collaborator" (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.

"Majelis tidak dapat menetapkan terdakwa sebagai 'justice collaborator' karena tidak memenuhi persyaratan SEMA No 4 tahun 2011," sebut Susanti.

BACA JUGA:  BTN Syariah Siap Kolaborasi dengan BPKH Genjot Pembiayaan Rumah

Adapun majelis hakim mempertimbangkan perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintah yang bebas dari korupsi, perbuatan terdakwa berpotensi mencederai hasil pemilu sebagai proses demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat, serta terdakwa telah menikmati hasil kejahatannya sebagai hal yang memberatkan putusan.

Sementara, terdakwa berlaku sopan di persidangan dan terdakwa memiliki tanggungan keluarga dipandang menjadi hal yang meringankan putusan oleh majelis hakim.

Kendati demikian, majelis hakim yang terdiri atas Susanti, Panji Surono dan Sukartono tak mengabulkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK untuk mencabut hak politik Wahyu selama empat tahun setelah menjalani masa hukuman. Selain itu, vonis untuk Wahyu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu delapan tahun dan denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan.

Atas putusan tersebut, JPU KPK menyatakan bersikap pikir-pikir selama tujuh hari guna menentukan langkah hukum selanjutnya. Jaksa perlu menunggu salinan putusan resmi dari majelis hakim guna melakukan analisa langkah hukum.

BACA JUGA:  Kerap Diberitakan Buruk Media Asing, Jokowi Ingatkan Menteri Agar Hati-hati Bicara

"Atas putusan itupun nantinya kami akan diskusikan dengan tim, langkah hukum apa yang akan kami lakukan dan pastinya salinan putusan yang tadi dibacakan pun itu kami masih menunggu. Karena tadi yang dibacakan adalah poin-poinnya," ujar JPU KPK Takdir Suhan.

Takdir menambahkan, pihaknya juga tengah mempertimbangkan untuk menelusuri penerimaan gratifikasi senilai Rp500 juta oleh Wahyu dari Gubernur Papua Dominggus Mandacan. Hanya saja, kata dia, hal itu perlu didiskusikan lebih lanjut dengan tim JPU dan penyidik.

"Ya analisa kembali. Karena bagaimanapun kita juga mesti mendiskusikan dengan tim, kemudian kepada penyidik, fakta-fakta hukum apa yang bisa digali, kaitannya dengan isi putusan tadi yang memang sependapat dengan yang disampaikan di dalam tuntutan JPU," tutur Takdir.

Sementara itu, Tony Hasibuan, Anggota Tim Kuasa Hukum Wahyu Setiawan menilai, putusan kliennya tak didasari pertimbangan hukum yang komprehensif. Menurutnya, banyak hal yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Wahyu.

BACA JUGA:  Bantu Usaha Mikro Lebih Produktif, KemenkopUKM Salurkan Bantuan Presiden

"Soal berat ringannya hukuman harusnya didasarkan oleh petimbangan hukum yang komprehensif," ujar Tony saat dihubungi, Senin (24/8).

Tony mengungkapkan, salah satu petimbangan utama itu yakni fakta bahwa Wahyu, meski berstatus sebagai Komisioner KPU, tak berwenang melakukan PAW Anggota DPR. Selain itu, Tony juga menyoroti dakwaan berupa penerimaan gratifikasi dari Sekretaris KPUD Papua Barat yang tidak melalui mekanisme penyidikan.

Namun, Tony mengatakan pihaknya masih mengambil langkah pikir-pikir dalam tujuh hari ke depan dalam menyikapi putusan tersebut. Ia mengaku masih perlu mengkoordinasikan vonis Wahyu dengan sejumlah pihak sebelum menempuh langkah hukum lebih lanjut.

"Masih dikoordinasikan dengan pihak keluarga Mas Wahyu, jadi dipikir-pikir dulu dalam waktu tujuh hari ke depan," ujar Tony.

Admin
Penulis