JAKARTA - Pakar Hukum Perbankan Yunus Husein mengiatkan Bareskrim Polri tidak memaksakan sebuah perkara perdata masuk ke ranah pidana. Mantan Kepala PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) ini menegaskan bahwa penangannan sebuah perkara perdata harus diselesaikan pula secara perdata.
Penegasan ini disampaikannya usai diperiksa sebagai saksi ahli oleh penyidik Bareskrim Polri dalam gelar perkara kasus dugaan tindak pidana perbankan (Tipibank). Kasus tersebut melibatkan debitur bermasalah Rita Kishore Kumar Pridani dan Kishore Kumar Tahilram Pridani selaku Direksi PT Ratu Kharisma. Keduanya mengajukan permohonan kredit dengan 20 direksi, komisaris, dan karyawan Bank Swadesi yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Penyelesaian sengketa kasus perdata harus mengedepankan perdatanya bukan pidana,” tandas Yunus, dalam keterangannya, Jumat (10/7).
Dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum perbankan Yunus memberi pandangan kepada penyidik terkait penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menjerat ke-20 tersangka. Ia menilai pelanggaran yang diduga dilakukan oleh para tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bukanlah ranah pidana melainkan kesalahan administrasi yang bisa diperbaiki melalui kesepakatan kedua pihak yang berperkara.
“Jadi pasal 49 itu tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan, tapi langkah yang di perintahkan oleh otoritas dalam hal ini BI atau OJK,” jelas Yunus.
Lebih jauh Yunus mengatakan bahwa dalam beberapa kasus banyak bank dilaporkan secara pidana oleh debitur-debitur bermasalah. Langkah debitur nakal tersebut menurutnya adalah modus agar terbebas dari kewajibanya.
Ia menekankan dalam kondisi perekonomian kita yang saat ini terdampak oleh corona, bank memiliki fungsi penting seperti jantung dalam tubuh manusia yang mensuplai likuiditas ke pereknomian seperti jantung yang mensuplai darah ke dalam tubuh manusia.
“Lewat diskusi dengan penyidik kita berharap polisi merekonstruksi ulang agar modus-modus para debitur nakal ini tidak membuat dunia perbankan ketakutan,” ucapnya.
Kasus ini berawal ketika pada awal tahun 2008, Rita Kishore Kumar Pridani dan Kishore Kumar Tahilram Pridani selaku Direksi PT Ratu Kharisma mengajukan permohonan kredit ke Bank Swadesi yang kini telah diakuisisi oleh PT Bank of India Indonesia sebesar Rp 10,5 miliar dengan agunan yang disebut senilai Rp 13,5 miliar.
Dalam perjalanannya, pihak Rita tidak membayar cicilan kepada bank. Kemudian, setelah melalui proses mediasi, pihak bank melalui Kantor Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Denpasar melakukan lelang aset yang dilakukan terbuka. Hasilnya, aset yang diagunkan oleh Rita berupa tanah seluas 1.520 meter persegi (M2) di daerah Seminyak, Bali laku dalam lelang tersebut senilai Rp 6.386.000.000.
Pihak Rita tidak puas dengan hasil lelang tersebut karena nilai lelang jauh di bawah nilai aset yang diagunkannya. Setelah melalui proses panjang, akhirnya pihak Rita melaporkan komisaris, direksi, dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Metro Bali atas dugaan melakukan tindak pindana perbankan (tipibank).
Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dan menetapkan status tersangka kepada 20 karyawan, komisaris, maupun direksi yang nota bene telah pensiun.(gw/fin)