Jokowi Tidak Ikut Campur

fin.co.id - 20/06/2020, 03:55 WIB

Jokowi Tidak Ikut Campur

JAKARTA - Pemerintah menegaskan tidak akan ikut campur terhadap usulan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Alasannya, inisiatif RUU berasal dari DPR RI. Selain itu, pemerintah tidak pernah mengirimkan surat presiden (Surpres) sebagai tanda persetujuan pembahasan legislasi atas RUU HIP kepada dewan.

"Pembahasan RUU HIP ini murni 100 persen inisiatif DPR. Bahkan sampai saat ini isi dari rancangan tersebut belum masuk ke meja kerja saya. Jadi pemerintah tidak ikut campur sama sekali," ujar Presiden Joko Widodo saat menerima sejumlah purnawirawan TNI dan Polri di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (19/6).

Menurut Jokowi, pemerintah memperhatikan suara-suara dari masyarakat. Karena itu, pemerintah memutuskan menunda dan tidak mengeluarkan Surpres tersebut. Jokowi ingin agar DPR lebih dulu mendiskusikannya dengan berbagai elemen masyarakat. Tujuannya agar tidak ada kesalahpahaman. "Ini kan ranahnya DPR RI. Karena itu, pemerintah sama sekali tidak ikut campur terkait RUU tersebut," paparnya.

Menkopolhukam Mahfud MD menambahkan, pemerintah menyambut positif masukan purnawirawan TNI-Polri. Salah satunya terkait RUU HIP. "Secara prinsip para purnawirawan setuju dengan pandangan presiden," ujar Mahfud di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (19/6).

Menurutnya ada dua hal yang perlu jadi perhatian. Pertama, kalaupun undang-undang tentang kelembagaan pembinaan ideologi negara atau ideologi Pancasila ada, maka Ketetapan MPRS Nomor TAP MPRS XXV/1966 itu masih berlaku. Kedua, Pancasila yang ada dalam UUD 1945 terdiri dari lima sila. "Nah lima sila tersebut yang selama ini kita pakai," imbuhnya.

Para purnawirawan, lanjutnya, juga berharap pemerintah menjaga NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Yang terpenting, tidak mentolerir upaya destruksi terhadap keutuhan Pancasila dari paham-paham yang mengancam. "Purnawirawan ingin Pancasila tidak tercabik-cabik oleh paham yang bisa merusak. Seperti liberalisme, komunisme dan radikalisme," papar Mahfud.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid menilai isi RUU HIP banyak hal yang sensitif. Sehingga perlu kehati-hatian dan ketelitian dalam proses pembahasannya. Menurutnya, MPR telah sepakat dengan keputusan pemerintah menunda atau menghentikan pembahasan RUU HIP. "Kalau sosialisasinya salah, ini seperti membuka kotak pandora. Kalau dalam bahasanya PBNU, ini mengurai ikatan yang sudah kuat. Karena negara ini disebut darul mitsaq yaitu negara kesepakatan," jelas Jazilul.

Politisi PKB tersebut, menilai ide penguatan Pancasila tetap menjadi sesuatu yang penting. Tetapi apakah dalam bentuk undang-undang atau melalui lembaga MPR. Yakni dengan mengamandemen UUD. "Ketika Presiden dilantik, pimpinan MPR dilantik, tidak ada kata-kata setia pada Pancasila. Memang tidak ada di sumpah jabatan. Justru kalau di IPNU, PBNU, saat pelantikan ada setia karena Pancasila," terangnya.

Dia menilai perlu dilakukan kajian bagaimana membuat rumusan yang tepat dalam penguatan Pancasila. Sebab, bukan perkara yang mudah dalam merumuskan masalah tersebut. Terlebih, berbagai kalangan menolak. Seperti ormas Islam. Bahkan purnawirawan TNI menolak karena tahu sisi kesejarahannya. "Menurut saya, dihentikan saja daripada menimbulkan polemik berkepanjangan," imbuhnya.

Terpisah, tiga ormas pendiri Partai Golkar yakni Kosgoro 1957, ormas Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) dan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) meminta pembahasan RUU HIP tidak perlu dilanjutkan. "Keputusan pemerintah yang meminta DPR menunda pembahasan RUU HIP sudah tepat," kata Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Kosgoro 1957 Agung Laksono di Jakarta, Jumat (19/6).

Dia menilai, RUU HIP tidak memiliki urgensi untuk diproses menjadi Undang-Undang. "Kader Kosgoro 1957, Ormas MKGR dan SOKSI sebagai kekuatan nasional dan kebangsaan menolak RUU tersebut. Kami berpandangan, tidak perlu dilanjutkan lagi," tegasnya.

Hal senada disampaikan Plt Ketua Umum PPK Kosgoro 1957 Syamsul Bachri. Dia menilai sejak awal RUU HIP digulirkan, sudah banyak menimbulkan kecurigaan. Terutama tidak dicantumkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 sebagai sebuah keputusan politik untuk membentengi Pancasila dari ideologi komunis. "Disamping itu substansi yang diatur dalam pasal-pasal RUU HIP tersebut justru mendegradasi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan pandangan hidup bangsa Indonesia," terang Syamsul Bachri.

Terpisah, Ketua Umum Depinas SOKSI Ali Wongso Sinaga menyatakan Pancasila merupakan sebuah ideologi yang menjadi perekat semua kelompok masyarakat. Pancasila, lanjutnya, merupakan titik temu bagi keberagaman suku, agama, ras dan budaya serta latar belakang yang berbeda. "Pancasila sebagai ideologi negara wajib dipertahankan. Kita harus konsisten menjaga Pancasila dari segala ancaman. Baik dari kelompok ekstrem kanan maupun ekstrem kiri," pungkasnya.(rh/fin)

Admin
Penulis