Deksametason Berlaku Terbatas

fin.co.id - 20/06/2020, 11:34 WIB

Deksametason Berlaku Terbatas

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Penggunaan obat Deksametason untuk mengobati penderita COVID-19 masih terbatas pada pasien tertentu. Hasil penelitian Universitas Oxford terkait penggunaan Deksametason menunjukkan penurunan kematian hanya pada kasus pasien COVID-19 yang berat. Sebab, hingga kini belum ada obat yang spesifik untuk Corona.

"Saat ini memang belum terdapat obat yang spesifik untuk COVID-19. Walaupun beberapa obat telah dipergunakan untuk penanganan COVID-19 sebagai obat uji. Deksametason, tidak bermanfaat untuk kasus COVID-19 ringan dan sedang," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny Lukito di Jakarta, Jumat (19/6).

Menurut dia, Deksametason adalah golongan steroid. Ini merupakan obat keras yang terdaftar di BPOM. Pembelianan obat harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter. Deksametason tidak dapat digunakan untuk pencegahan COVID-19.

"Deksametason yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter yang digunakan dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping. Seperti menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan tekanan darah, diabetes, moon face dan masking effect, serta efek samping lain yang berbahaya," imbuhnya.

Menurut Penny, BPOM terus memantau dan menindaklanjuti hasil lebih lanjut terkait informasi penggunaan obat untuk penanganan COVID-19. "Karena itu, BPOM meminta kepada masyarakat agar tidak membeli obat deksametason dan steroid lainnya secara bebas tanpa resep dokter. Termasuk membeli melalui platform online. Untuk penjualan obat deksametason dan steroid lainnya, termasuk melalui online tanpa ada resep dokter dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku," paparnya.

Soal berita dihentikannya penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada keadaan darurat COVID-19 di Amerika Serikat dan di Inggris, masih didasarkan pada penelitian. Namun, di negara lain, termasuk Indonesia, obat tersebut masih merupakan salah satu pilihan pengobatan yang digunakan secara terbatas pada pasien COVID-19.

"Ini sejalan dengan persetujuan penggunaan terbatas saat darurat dari BPOM yang dikeluarkan pada bulan April 2020. Diutamakan pada pasien dewasa dan remaja yang memiliki berat 50 kilogram atau yang dirawat di rumah sakit," ucapnya.

Penelitian observasional penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pasien COVID-di beberapa rumah sakit di Indonesia, menunjukkan tidak meningkatkan risiko kematian. "Walaupun menimbulkan efek samping pada jantung berupa peningkatan interval QT pada rekaman jantung, tetapi tidak menimbulkan kematian mendadak. Efek samping ini sangat sedikit. Karena sudah diketahui sehingga bisa diantisipasi sebelumnya," urainya.

Penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin, lanjutnya, dapat mempersingkat masa rawat inap di rumah sakit pada pasien COVID-19. "Penggunaan kedua obat ini harus tetap merujuk pada informasi kehati-hatian. Terutama tentang adanya risiko gangguan jantung pada penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin," tandasnya.

Sementara itu, juru bicara pemerintah pada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto menyebut sakit itu merupakan pilihan. Tetapi sehat menjadi kewajiban. Terutama pada masyarakat yang masih belum mematuhi protokol kesehatan pencegahan COVID-19.

"Karena jika ada yang memilih tidak mengikuti protokol kesehatan dan ternyata sakit, itu menjadi wajar. Karena tidak patuh. Tertular virus Corona bukan takdir. Tetapi karena ada orang yang memilih cara hidup yang menyebabkan sakit. Dia milih nggak pakai masker, memilih nggak cuci tangan, memilih nggak jaga jarak. Seharusnya wajib pakai masker, wajib jaga jarak, wajib cuci tangan. Karena kita menyadari, wajib sehat," paparnya.

Dia tidak bisa berandai-andai kapan pandemi COVID-19 akan mereda di Indonesia. Menurut Yuri, dari pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), upaya itu masih dianggap sebagai alatnya pemerintah untuk mengendalikan masyarakat. "Yang kita inginkan, PSBB atau protokol kesehatan itu adalah alatnya masyarakat. Tujuannya, agar orang tidak sakit. Jadi saya pakai masker bukan karena takut didenda. Tetapi, masker itu dibutuhkan supaya tidak ketularan," pungkas Yuri.(rh/fin)

Admin
Penulis