JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menilai, fenomen jemput paksa jenazah terkait Covid-19, disebabkan adanya informasi yang tidak akurat di tengah masyarakat. Menurut Muhadjir, semua pihak harus dilibatkan guna memberikan pemahaman terkait pandemi Covid-19 kepada masyarakat. Baik pemerintah pusat, pamerintah daerah, gugus tugas daerah maupun tokoh masyarakat.
"Mulai dari saat mereka harus mengikuti rapid tes dalam upaya kita untuk melakukan tracing. Kemudian pemulasaran jenazah yang sudah diketahui positif atau yang masih berstatus PDP," jelas Menko Muhadjir melalui siaran persnya, Jumat (19/6).
Selain itu menurut Muhadjir, tata laksana Rumah Sakit juga harus dibenahi dan dipercepat terkait informasi penetapan status pasien. "Jadi kalau ada pasien yang diduga PDP sebaiknya segera diadakan tes swab kemudian segera dikirim ke laboratorium dan minta dipriortaskan sehingga jaga-jaga kalau misalnya pasien mengalami kefatalan atau fatalitas itu bisa diketahui statusnya. Sehingga tidak menimbulkan konflik dengan ahli waris atau keluarga jenazah yang terjadi seperti saat ini," terangnya.
BACA JUGA: Bank Korsel Suntik Modal Bank Bukopin, Tanda Ekonomi RI Mulai Pulih
Dia melanjutkan, misinformasi dan informasi hoaks di tengah masyarakat juga menjadi salah satu faktor penjemputan paksa jenazah covid-19. Selain itu, ada pihak yang melakukan provokasi untuk melakukan penjemputan paksa jenazah pasien terduga Covid-19. Muhadjir meminta masyarakat mewaspadai pihak-pihak yang melakukan provokasi. Menurut dia, provokator bisa ditindak tegas secara hukum. "Siapapun yang melakukan provokasi untuk menolak saya kira bisa ditindak secara hukum. Karena ini berarti bisa menganggu tujuan pemerintah untuk mengatasi Covid-19 ini," tukasnya.Selain soal penjemputan paksa jenazah, Muhadjir menyoroti banyaknya fenomena penolakan rapid tes Covid-19. Fenomena tersebut, menurutnya, terjadi karena kesalah pahaman masyarakat yang panik dan beranggapan jikalau ada pelaksanaan tes pertanda ada hal buruk yang terjadi.
"Maka itu sebetulnya harus dicek dulu prakondisinya seperti apa mereka apakah sudah siap untuk menerima rapidtes masal apa belum. Kalau sudah siap bisa diatur, protokol kesehatannya juga jangan sampai diabaikan. Kemudian bisa segera dilakukan kontak tracking untuk menentukan siapa PDP dan positif," tuturnya.
Menko Muhadjir meminta kepada pemerintah daerah sampai gugus tugas daerah agar melibatkan banyak pihak tidak hanya tenaga kesehatan dalam melakukan sosialisasi pemahaman dan melakukan tes cepat seperti sosiolog, ahli demografi, ahli ekonomi. Sehingga, sebelum dilakukan tes cepat bisa dipahami kondisi di lapangan serta pihak gugus tugas bisa memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat.
BACA JUGA: Hindari PHK di Tengah Pandemi
"Saya juga sudah menyarankan kepada gugus tugas pusat supaya tim gugus tugas di daerah tidak hanya dari ahli kesehatan. Tetapi juga melibatkan ahli sosiologi, demografi tokoh agama agar pemahaman terhadap setting sosial di mana kita bekerja itu bisa dipahami. Sehingga jangan sampai terjadi kesalahpahaman karena itu tidak kita pahami secara utuh," pungkasnya.Fenomena jemput paksa jenazah pasien postif Covid-19 marak terjadi dewasa ini. Setidaknya ada delapan kasus jemput paksa jenazah pasien corona yang tercatat dari Maret hingga Juni ini yang terjadi di beberapa daerah. Terakhir, kasus jemput paksa jenazah terjadi di Rumah Sakit Mekar Sari, Bekasi timur yang terjadi pada 8 Juni lalu. Penjemputan dilakukan oleh pihak keluarga karena tidak terima perihal status pasien yang dikeluarkan oleh pihak rumah sakit setempat. Mereka juga ingin memproses pemulasaran jenazah secara pribadi tanpa protokol jenazah Covid-19.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis telah mengeluarkan catatan lewat surat telegram kepada jajarannya di seluruh Indonesia terkait fenomena penjemputan paksa jenazah dimaksud. Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1618/VI/Ops.2/2020 tanggal 5 Juni 2020 itu ditandatangani atas nama Kapolri oleh Kabaharkam Polri sekaligus Kepala Operasi Terpusat Kontijensi Aman Nusa II-Penanganan COVID-19 Tahun 2020, Komjen Agus Andrianto.
Isi telegram itu meminta aparat kepolisian untuk dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan rumah sakit yang menjadi rujukan penanganan pasien Covid-19 sehingga dapat memastikan status dari pasien yang dirawat ataupun meninggal. "Mendorong pihak rumah sakit rujukan Covid-19 untuk segera melaksanakan tes swab terhadap pasien yang dirujuk, terutama pasien yang sudah menunjukkan gejala Covid-19, memiliki riwayat penyakit kronis, atau dalam keadaan kritis," bunyi telegram tersebut.
Selanjutnya ditegaskan bahwa, ketika status positif atau negatif Covid-19 seorang pasien jelas, maka tidak akan timbul keraguan dari pihak keluarga kepada rumah sakit dalam proses penanganannya. Kepolisian diminta untuk berkoordinasi dengan Rumah Sakit untuk memastikan penyebab kematian pasien agar tidak timbul kegaduhan.
"Jenazah pasien yang telah dipastikan positif Covid-19 harus mengikuti proses pemakaman sesuai prosedur kesehatan. Namun, jika jenazah terbukti negatif Covid-19, proses pemakamannya dapat dilakukan sesuai dengan syariat atau ketentuan agama masing-masing." Demikian Komjen Agus Andrianto dalam telegram tersebut. (dal/fin)