129 Daerah Kesulitan Anggaran

fin.co.id - 10/06/2020, 01:34 WIB

129 Daerah Kesulitan Anggaran

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Total 141 daerah hingga kemarin belum melaporkan kondisi keuangan terkait kesiapan Penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sementara 129 dari 270 daerah telah menyampaikan laporannya keuangannya.

Menariknya 129 daerah yang telah melaporkan tersebut dalam kondisi sulit keuangan. ”Hanya 57 daerah yang secara jelas menyatakan bahwa mereka mampu untuk membiayai dari APBD-nya,” ungkap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Senin (9/6).

Ditambahkannya, 57 daerah tersebut juga menyatakan mampu untuk membiayai tambahan kebutuhan dari KPU maupun Bawaslu daerah untuk kebutuhan pilkada. ”Kemudian 72 daerah ruang fiskalnya memang sulit untuk meminta bantuan dari APBD. Ini masih belum termasuk 141 daerah lain yang belum melaporkan,” jelas Tito.

Dari posisi ini, Kemendagri tidak mau tinggal diam. Kemendagri segera melakukan pengecekan ruang fiskal setiap daerah guna memenuhi kebutuhan pencairan dana hibah untuk pilkada seperti yang sudah disepakati dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

Pengecekan tersebut juga untuk memastikan kesanggupan daerah dalam menyediakan anggaran tambahan yang dibutuhkan terkait protokol kesehatan karena pandemi Covid-19.

”Saya meminta pemerintah daerah segera mencairkan NPHD untuk Pilkada serentak 9 Desember 2020, agar penyelenggara pemilu dapat menggelar tahapan kembali pada 15 Juni nanti,” terangnya.

Tito pun memastikan anggaran penyelenggara Pilada tidak ikut dipotong terkait realisasi anggaran kementerian lembaga, hal itu oleh karena urgensinya untuk kesuksesan pilkada di tengah pandemi. ”Kami sudah sampaikan surat juga kepada Menkeu agar anggarannya tidak dipotong, berkaitan dengan kebijakan rasionalisasi KL, demikian juga untuk Bawaslu, demikian juga untuk DKPP,” ujar Mendagri.

Terpisah, Aktivis 98 Maruli Hendra Utama mengatakan, siklus demokrasi dengan tatanan seperti ini, ibarat perang yang dipaksakan. Publik harus berjibaku tidak hanya memikirkan isi perut dirinya dan keluarga.

”Mereka harus memikirkan nyawanya sendiri. Tak ada yang menjamin. Mencari pemimpin di tengah wabah. Rasanya tak elok. Ada apa ini, kenapa harus dipaksakan,” terang mantan Dosen Sosiologi, Untirta itu.

Apakah tidak ada skala prioritas yang dipikirkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam kondisi susah seperti ini. ”Pemimpin itu lahir dari rakyat. Itu filosofinya. Lalu kenapa dipaksa-paksa. Soal kursi jabatan yang kosong, bisa ditetapkan melalui Pelaksana Tugas, atau penunjukan sementara. Ini teorinya dari mana, kok bisa begini!” tandas Maruli.

Ditambahkannya, Pemerintah Pusat dan Daerah seharusnya fokus pada penanganan wabah Virus Corona (Covid-19) agar tidak menjalar kemana-mana. ”Ini wabah lho. Beban perut, beban ekonomi, semua menjadi satu. Kok Pilkada ini kesannya seperti mau perang. Hambur-hamburkan uang, tak melihat lagi mana yang lapar, mana yang harus diprioritaskan,” tandasnya.

KPU dengan Bawaslu maupun jajaran terkait, juga akan gelisah. Lembaga ini harus bergelut dengan waktu sementara persiapan untuk 9 Desember makin dekat.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Partai NasDem Saan Mustopa mengatakan keserentakan Pemilu yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu, akan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XVII/2019 yang di dalamnya memuat enam varian model pemilu serentak. ”Keserentakan Pemilu ini tentu akan mengacu pada Putusan MK nomor 55 tahun 2019 hasi uji materi Perludem dan teman-teman lainnya,” kata Saan.

Dia mengatakan dari enam alternatif varian Pemilu serentak yang ada dalam Putusan MK itu, mayoritas anggota Komisi II DPR setuju dengan alternatif pertama yaitu pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden. Menurut dia, nantinya pelaksanaan Pemilu akan ada lima kotak suara seperti yang digunakan pada Pemilu 2019 dan aturan tersebut akan diterapkan pada Pemilu 2024 bukan Pemilu 2029.

”Variasi yang pertama (dari Putusan MK no 55/2019) tetap menjadi pilihan yang hampir disepakati oleh seluruh fraksi di DPR, yaitu seperti di Pemilu 2019, Presiden DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Berikutnya Pilkada untuk keserentakan di daerah,” ujarnya.

Admin
Penulis