JAKARTA - Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu DPR berjanji akan memasukan aturan mengenai penggunaan teknologi informasi khususnya terkait rekap elektronik (e-rekap). Penggunaan rekap elektronik itu merupakan bagian dari upaya modernisasi pelaksanaan Pemilu. Harapannya memperbaiki kualitas pelaksanaan pemilu dan demokrasi Indonesia.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendukung penerapan rekapitulasi suara secara elektronik di Pemilu. Namun UU Pemilu perlu mengatur dengan baik terkait nilai, prinsip, dan standar penerapan rekapitulasi suara elektronik yang aman dan kredibel.
”Penerapan teknologi e-rekap bisa menjadi solusi mengurai banyaknya yang selama ini kita hadapi. Dominan protes terjadi saat proses rekapitulasi ketimbang pemungutan dan penghitungan suara di TPS,” jelas jelas Titi kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Minggu (7/6).
Titi lebih berpandangan bahwa rekapitulasi e-recap cukup relevan diterapkan untuk Pemilu Indonesia. ”Tentu saja, pemanfaatan teknologi dalam pemilu haruslah dipersiapkan dengan matang, inklusif, dan dengan waktu yang cukup terutama untuk melakukan uji coba berulang,” urainya.
BACA JUGA: Keselamatan Penyelenggara dan Pemilih Paling Utama
Langkah lain seperti pelatihan yang maksimal untuk para petugas atau operator teknis, membuka ruang adanya audit teknologi secara akuntabel, termasuk membangun kepercayaan publik terhadap teknologi yang digunakan. ”Oleh karena itu, hasil audit sistem atas teknologi yang digunakan juga mutlak dipublikasi secara transparan kepada publik,” jelasnya.Nah, jika e-rekap akan digunakan di Pilkada 2020 atau Pemilu 2024, niat baik ini juga perlu dilakukan secara bertahap tidak langsung diseluruh daerah. Tetapi dipilih di salah satu daerah sebagai uji coba sekaligus sarana mempersiapkan kematangan sistem sekaligus membangun ruang kepercayaan publik.
”Contoh Pakistan, dimulai dari 50 TPS kemudian 100 TPS untuk Pilkada (Memerlukan waktu penerapan 3 tahun). Filipina membutuhkan waktu lebih lama dan uji coba terus menerus di salah satu daerah pemilihan,” sebut Titi.
Ia berharap tahap awal uji coba penggunaan e-rekap bisa dilakukan secara pararel dengan rekapitulasi yang dilakukan secara manual dalam rangka mengantisipasi adanya kesalahan hitung, perbedaan hasil, bahkan sengketa yang mungkin diajukan oleh peserta pemilu dalam rangka mempermudah investigasi lebih jauh untuk menguji kebenarannya. Namun hasil resmi tetap berdasarkan e-rekap.
”Membuat sistem keamanan yang memadai dan membuka ruang adanya audit independen secara acak oleh pihak ketiga. Jika dalam rangka menguji akurasi sistem sekaligus membangun kepercayaan publik contoh saja Phillipina yang melibatkan audit independen dari organisasi pemantau pemilu atau organisasi masyarakat sipil,” paparnya.
BACA JUGA: Di Kota Tangerang, Ada 1000 Lebih Orang Tanpa Gejala
Perludem berpandangan, wacana untuk pemanfaatan teknologi pemilu haruslah berlandaskan pada jawaban terhadap persoalan dan konteks kebutuhan. Identifikasi masalah menjadi penting. ”Pertanyaanya apakah ada permasalahan dalam pemungutan suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi suara di Indonesia?” timpal Titi.Dari identifikasi Perludem, tahapan yang paling banyak problematikanya adalah proses rekapitulasi masalah. Misalnya, proeses yang relatif lama, ketegangan atau konfilk antar pendukung, serta perilaku koruptip dan manipulasi data hasil pemilu. ”Di situlah rekapitulasi suara secara elektronik relevan untuk dilakukan guna mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut,” tegas Titi.
Disingung banyaknya protes yang dilancarkan terhadap pemerintah, yang terkesan memaksakan Pilkada harus dilaksanakan di tengah wabah Covid-19, Titi menekankan Pilkada yang dipersiapkan secara tergesa-gesa dengan persiapan yang tidak matang akan berdampak pada menurunnya kualitas teknis impelentasi tahapan Pilkada. ”Petugas bisa tidak siap dalam beradaptasi dengan aturan main baru yang disusun untuk menyesuaiakan situasi pandemi,” tandasnya.
Akhirnya praktik di lapangan bisa tidak terstandar dan melahirkan ketidakpastian pelaksanaan aturan main. ”Kita terlalu mempertaruhkan kualitas Pilkada dan mutu demokrasi Indonesia. Bila melaksanakan pilkada dengan regulasi, anggaran, dan kapasitas petugas yang tidak siap. Lalu pemilih pun terancam tidak mendapatkan informasi dan pendidilkan kepemiluan yang memadai sebagai modalitas mereka dalam memberikan suara secara cerdas,” papar Titi.
BACA JUGA: Abdelmalek Droukdel Dikenal Perakit Bom Ulung
Selain itu, bila persiapannya tidak baik, maka sangat mungkin proteksi atau perlindungan kesehatan petugas penyelenggara menjadi tidak optimal sehingga ini bisa mengancam keselamatan dan kesehatan para petugas.”Sehingga mereka menjadi rentan terpapar Covid-19. Mestinya kita menunda pilkada ke 2021 sehingga ada persiapan dari sisi regulasi, anggaran. penguatan kapasitas petugas, dan sosialisasi pemilih yang lebih optimal,” tegas Titi.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa mengatakan penggunaan rekap elektronik itu merupakan bagian dari upaya modernisasi pelaksanaan Pemilu ke depan yaitu memasukkan poin teknologi informasi dalam draf RUU Pemilu. Dengan demikian diharapkan memperbaiki kualitas pelaksanaan pemilu dan demokrasi Indonesia.
Sekretaris Fraksi Partai NasDem itu juga menjelaskan Komisi II DPR sebenarnya ingin agar RUU Pemilu satu paket dengan UU Partai Politik, dan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) namun belum dapat terlaksana.
”Namun kami baru memasukkan terkait pilkada. Saya perlu sampaikan bahwa sebagian besar fraksi ingin pilkada dilakukan normalisasi kembali. Misalnya 2020 tetap pilkada nanti 2025 pilkada lagi, 2022 ada pilkada sesuai jadwal yang ada lalu pilkada lagi di 2027," ujarnya.