Seharusnya Presiden Tak Perlu Terbitkan Perppu

fin.co.id - 19/05/2020, 22:54 WIB

Seharusnya Presiden Tak Perlu Terbitkan Perppu

JAKARTA - Praktisi hukum nasional termasuk kalangan akivis dan DPR sedang ramai membicarakan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19).

Bahkan ”tantangan” yang dilayangkan permohonan atas nama Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI dan PEKA dengan nomor perkara 24/PUU-XVIII/2020.

Termasuk perkara yang diajukan Din Syamsuddin, Amien Rais dan Sri Edi Swasono dengan nomor 23/PUU-XVIII/2020 akan disidangkan pada hari ini, Rabu (20/5) menjadi penentu arah kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah Virus Corona dan kebijakan keuangan negara serta turunannya.

Ya, lewat agena tersebut tiga menteri sekaligus bakal turun ke gelanggang mengatasi uji materi yang disodorkan. Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan serta Jaksa Agung direncanakan bakal hadir dalam sidang yang berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi. ”Wah ini jelas bakal rame. Seru sekali,” sebut Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusiyanto Alam lewat pesan WhatsApp yang disampaikan ke Fajar Indonesia Network (FIN), Selasa (19/5).

BACA JUGA: Semua Terpukul, Tito: Jangan Saling Menyalahkan

Di luar soal Perppu yang menimbulkan implikasi uji materi, Yusiyanto berpendapat, Covid-19 merupakan salah satu ujian terbesar bagi penyelenggara negara dan pemerintahan. Termasuk kepemimpinan politik. Berbagai tindakan yang bersifat extraordinary ditetapkan. ”Persoalannya, sampai sejauhmana tindakan tersebut sejalan dengan konstitusionalisme dan prinsip negara hukum? Apakah Pasal 27 ayat 1, 2, dan 3 telah senafas dengan dua asas utama bernegara?” tulis Yusdiyanto mengilustrasikan awal perkara ini.

Pasal 27, sambung dia, sejatinya telah memasuki area penegakan hukum. Lalu dapatkah Perppu mengatur lembaga negara lain? ”Melalui ayat 1, Perppu ini telah menetapkan secara sepihak tindakan tertentu bukan sebagai kerugian negara. Apa ini bukan ranah penegak hukum?” ungkapnya.

Di ayat 2, jelas publik menangkap, pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi pejabat-pejabat publik untuk tidak dituntut secara perdata dan pidana jika tindakannya sesuai dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan.

”Maka hakimlah yang dapat menilai itikad baik dan kesesuaian tindakan dengan peraturan. Dan di Ayat 3, lagi-lagi memberikan perlindungan kepada pejabat publik karena tindakan, termasuk keputusan tang diambil berdasarkan Perppu ini tidak menjadi objek gugatan PTUN. Nyata, ini ranah penegakan hukum di pengadilan melalui kompetensi pengadilan,” urainya lagi.

BACA JUGA: Union Berlin 0-2 Bayern Munchen: Super Flick

Maka sambung doktor jebolan Universitas Padjajaran, Bandung itu, adalah wajar jika rakyat bertanya. ”Bagaimana dengan hak sebagai warga negara. Mengapa tidak dapat memperkarakan negara melalui cabang kekuasaan kehakiman sebagai pihak ketiga yang netral,” paparnya.

Tertang Perppu, Covid 19, Yusdiyanto coba memberi ilustrasi. Pertama, Perpu No. 1 Tahun 2020 ini tidak sebagaimana umumnya undang-undang. Karena dimulai dengan merumuskan ketentuan umum yang berisi batasan-batasan pengertian.

Perppu No.1 Tahun 2020 juga sama sekali tidak membatasi pengertian konsep-konsep yang sangat abstrak. Seperti kebijakan keuangan stabilitas sistem keuangan, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional atau stabilitas sistem keuangan, dan sebagainya. ”Karena itu, dalam pelaksanaannnya, penafsiran mengenai istilah-istilah tersebut di atas akan sangat tergantung kepada para pejabat pelaksana untuk mempersempit atau memperluas pengertiannya,” jelas Yusdiyanto.

Kedua, terlepas dari kemuliaan penerbitan Perppu No.1 Tahun 2020, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa ketentuan ayat 2 dan 3 itu ditangguhkan berlakunya hanya dalam kasus Covid-19. Sedangkan dalam kasus lainnya, masih tetap diberlakukan sebagaimana diatur dalam UU No.9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

BACA JUGA: Defisit APBN 2020 Diproyeksi Melebar di Posisi 6,27 Persen

”Bukankah UU No.9 Tahun 2016 juga dibuat dalam rangka mengantisipasi keadaan krisis sistem keuangan? Apa perbedaan kualitas keadaan krisis menurut UU No. 9 Tahun 2016 itu dengan kualitas keadaan krisis yang diatur dalam PERPU No.1 Tahun 2020?” tanya Yusdiyanto.

Jika dilihat dalam konsideran, mengingat kedua peraturan ini, yaitu UU No.9 Tahun 2016 dan Perppu No. 1 Tahun 2020, Ia menilai sama-sama tidak merujuk kepada Pasal 12 UUD 1945. ”Artinya, keduanya sama-sama masih berada dalam rezim hukum keadaan normal. Bukan keadaan darurat. Namun, karena keadaan krisis yang diakibatkan oleh Covid-19 ini dipandang lebih membahayakan perekonomian negara, maka kedua ayat pada Pasal 20 dalam UU No.9 Tahun 2016 tersebut ikut ditangguhkan berlakunya selama masa krisis,” ungkapnya.

Pernyataan Yusdiyanto yang menitikberatkan soal tatanan hukum, sedikit berbeda dengan penegasan yang disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin. Ia lebih menyoroti skema bantuan likuiditas kepada perbankan yang melakukan relaksasi kredit seperti tertuang dalam PP No 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Pada poin ini ia meminta perlu lebih diperjelas mekanismenya.

”Merujuk Pasal 11 Perppu No 1 Tahun 2020, pemerintah berwenang untuk menempatkan dana langsung melalui lembaga keuangan, manajer investasi, atau lembaga lain yang ditunjuk. Kemudian sebagai ketentuan lanjutan, Pasal 10 PP No 23 Tahun 2020 memungkinkan pemerintah untuk menempatkan dana kepada bank peserta sebagai dana penyangga likuiditas bank pelaksana yang memberikan restrukturisasi kredit kepada UMKM terdampak Covid-19,” papar politisi Partai Golkar tersebut.

BACA JUGA: Guru Madrasah Dapat Diskon Kuota Internet

Berdasarkan PP di atas, bank peserta akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dana penyangga likuiditas tersebut kemudian disalurkan kepada bank pelaksana oleh bank peserta, berdasarkan hubungan kontraktual business to business.

Puteri menyoroti kaitan skema penempatan dana ini dengan skema dukungan likuiditas lain yang juga diatur dalam Perppu No 1 Tahun 2020, seperti pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) bagi bank sistemik dan bank nonsistemik, serta pinjaman likuiditas khusus (PLK) bagi bank sistemik.

Selain itu, sambung PP itu juga masih belum cukup menjelaskan beberapa hal krusial terkait pelaksanaan teknisnya. Secara khusus, PP ini memang menyebutkan bahwa tata cara penempatan dana pemerintah akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang saat ini belum diterbitkan.

Admin
Penulis