News . 19/05/2020, 22:54 WIB
”Masih banyak hal-hal teknis yang perlu diatur lebih lanjut. Misalnya, batasan kewenangan dan tanggung jawab bank peserta maupun pemerintah dalam menyalurkan dana penyangga likuiditas, serta ketentuan penilaian risiko oleh bank peserta dalam menyediakan dukungan likuiditas kepada bank pelaksana. Selain itu, pelibatan BPK dan BPKP menjadi hal yang sangat penting mengingat penyaluran dana dilakukan berdasarkan hubungan kontraktual,” urai Puteri.
Menurut dia, pemerintah akan menempatkan sejumlah dana di bank peserta atau bank yang masuk kategori 15 bank besar dan sehat sesuai diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2020. Pemerintah berencana akan menerbitkan surat utang yang akan dibeli Bank Indonesia dan hasil penjualannya akan ditempatkan di bank peserta sebagai bagian penyangga likuiditas bagi perbankan yang membutuhkan.
Nantinya, melalui bank peserta akan memberikan pinjaman kepada bank yang membutuhkan dukungan likuiditas atau disebut juga bank pelaksana yakni bank yang melaksanakan restrukturisasi kredit. Adapun mekanismenya, kata dia, kredit yang direstrukturisasi bank pelaksana itu dijadikan sebagai agunan kepada bank peserta.
Sebelumnya, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani kurang sependapat jika bank Himbara menjadi bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang likuiditasnya seret.
”Kebijakan itu akan mempengaruhi saham bank-bank BUMN, karena dalam hal ini dikhawatirkan para pemegang saham minoritas memiliki pandangan negatif soal kebijakan tersebut. Apalagi dengan ditunjuknya bank Himbara sebagai bank penyangga likuiditas, tentu akan menimbulkan konflik kepentingan antara bank penyangga likuiditas dengan penerima likuiditas,” pungkasnya. (fin/fin)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com