JAKARTA - Sejumlah daerah disebut telah memanipulasi data terkait penduduk miskin di wilayahnya. Banyak pemerintah daerah yang tidak menyampaikan secara jujur terkait data jumlah penduduk miskin. Salah satu alasannya karena ingin dianggap sukses menurunkan tingkat kemiskinan.
“Lagi-lagi ini soal data kalau terkait sistem perlindungan sosial. Banyak daerah ketika ditanya jumlah warga miskinnya tidak jujur. Karena daerah ingin dicatat sukses menurunkan jumlah orang miskin. Karena itu, jumlahnya dikurangi,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa dalam Rakorbangpus 2020 secara virtual di Jakarta, Selasa (12/5).
Dia menuturkan ketika pemerintah pusat ingin membagikan bantuan sosial (bansos), tiba-tiba pemerintah daerah menyebut jumlah penduduk miskinnya bertambah. “Bukan hanya saat masa pandemi ini. Sebelumnya juga terjadi,” imbuhnya.
Padahal, akurasi dan kelengkapan data terkait jumlah penduduk miskin sangat penting dalam menentukan langkah dan kebijakan pemerintah. “Akurasi dan kelengkapan data kemudian memperbarui data itu sedemikian rupa itu penting,” tegasnya.
Suharso meminta agar data mengenai jumlah penduduk miskin dapat terus diperbaharui dan menjadi perhatian utama oleh setiap pemerintah daerah. Tujuannya agar dapat disesuaikan dengan penyaluran bansos.
Dia berharap pemerintah pusat maupun daerah dapat berkoordinasi baik dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Terutama terkait data jumlah penduduk miskin. “Kita harus bersama-sama membasmi kemiskinan mendekati nol pada 2024. Ini yang harus ditekan bahkan sampai dengan nol,” terangnya.
Pemerintah, lanjutnya, memiliki target menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia hingga mendekati nol pada 2024 mendatang. Di sisi lain, adanya pandemi COVID-19 menyebabkan potensi terjadinya pertambahan jumlah penduduk miskin sebanyak 2 juta orang pada akhir 2020 dibandingkan 2019.
Suharso menyebutkan outlook tingkat kemiskinan pada tahun ini sebesar 9,7 persen sampai 10,2 persen dengan target penurunan tingkat kemiskinan di level 9,2 persen hingga 9,7 persen untuk 2021. ”Tahun ini kita berharap bisa menekannya menjadi 9 persen bahkan 8,5 persen. Tetapi mungkin ada penambahan. Mudah-mudahan tidak kembali ke dua digit. Karena itu benar-benar pekerjaan yang berat pada 2021,” urainya.
Selain itu, jumlah masyarakat yang dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi COVID-19 mencapai 2 juta hingga 3,7 juta orang. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan catatan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Yaitu 1,7 juta orang. Sementara Kadin mencatat terdapat 6 juta orang menganggur akibat pandemi COVID-19. “Kemnaker mencatat 1,7 juta tenaga kerja yang di-PHK dan Bappenas sendiri menghitungnya sekitar 2 juta sampai 3,7 juta orang,” tuturnya.
Bappenas juga memprediksi jumlah pengangguran di Indonesia pada tahun ini akan bertambah 4,22 juta orang dengan outlook Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 2020 sebesar 7,8 persen sampai 8,5 persen. “Hitungan kita perkirakan 2,3 juta sampai 2,8 juta terjadi penciptaan lapangan pekerjaan pada 2021 berhadapan dengan pengangguran yang akan bertambah 4,22 juta pada 2020 dibandingkan 2019,” bebernya.
Prediksi tersebut lebih tinggi dibandingkan target tingkat pengangguran terbuka dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yaitu sebesar 4,8 persen sampai 5 persen atau realisasi 2019 sebesar 5,28 persen. Peningkatan jumlah pengangguran sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Diprediksi jumlahnya bertambah dua juta orang pada akhir 2020. “Bersama dengan itu akan memunculkan barisan baru terkait kemiskinan yang diakibatkan oleh orang yang kehilangan lapangan pekerjaan,” lanjutnya.
Pemerintah, kata Suharso, akan segera melakukan pemulihan ekonomi. Yakni dimulai pada sektor yang memiliki banyak lapangan pekerjaan. Sseperti pariwisata, industri manufaktur, dan perdagangan. “Investasi juga kita pulihkan utamanya yang padat karya dan pariwisata. Kita tahu mereka mengalami keterpurukan yang luar biasa. Sehingga penyerapannya terhadap tenaga kerja juga luar biasa besar,” terang Suharso.
Menanggapi hal itu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menyatakan, hingga 2019, jumlah penduduk miskin di Ibu Kota masih sebesar 362,30 ribu orang atau 3,42 persen dari total penduduk DKI Jakarta.
Secara makro, Anies menyampaikan indeks pembangunan manusia (IPM) di DKI Jakarta pada 2019 tercatat sebesar 80,76 yang meningkat dari tahun sebelumnya. Yakni sebesar 80,47 dan merupakan IPM tertinggi di Indonesia. "Secara indikator ekonomi, produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Provinsi DKI Jakarta pada 2019 mencapai Rp2.840,33 triliun. Ini terjadi peningkatan sebesar 9,27 persen dibandingkan dengan 2018 sebesar Rp2.599,33 triliun," kata Anies di Jakarta, Selasa (12/5).
Selanjutnya, pada 2019 perekonomian Provinsi DKI Jakarta tumbuh sebesar 5,89 persen. Tingkat inflasi sebesar 3,23 persen atau lebih rendah 0,04 persen dari tahun lalu sebesar 3,27 persen. Anies menjelaskan realisasi APBD Tahun Anggaran (TA) 2019 yang saat ini proses audit BPK RI, yakni sebesar Rp62,3 triliun atau 83,08 persen. Rinciannya adalah realisasi pajak daerah sebesar Rp40,29 triliun dan dana perimbangan sebesar Rp14,49 triliun.