Distribusi APD Jangan Lambat

fin.co.id - 26/04/2020, 03:33 WIB

Distribusi APD Jangan Lambat

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - DPR RI menyesalkan lambatnya distribusi APD dari pemerintah pusat kepada tenaga kesehatan yang menangani COVID -19 di berbagai daerah. Kekesalan ini bertambah setelah mendengar keluhan yang sama dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengatakan, pemerintah seperti terus bermain dengan masalah. Sebelumnya rakyat menggugat pemerintah karena tidak menyiapkan APD bagi tenaga kesehatan dengan dalih stok dan anggaran tidak ada.

“Sekarang anggaran sudah diturunkan dan APD sudah ada, malah lambat dalam distribusinya. Apa pemerintah tidak kasihan kepada tenaga kesehatan yang harus berjibaku menangani pasien COVID -19 ? Karena menunggu APD yang tak kunjung datang,” kata Netty di Jakarta, Sabtu (25/4).

Pihak IDI mendapatkan aspirasi dari dokter di berbagai daerah bahwa distribusi APD masih terhambat. Salah satunya dikarenakan persoalan birokrasi. Sehingga, dokter di RS meminta bantuan APD kepada IDI. Kemudian IDI melaporkan kondisi tersebut kepada BNPB selaku gugus nasional COVID -19. “Di era revolusi 4.0 harusnya berimbas pada mental dan manajemen pengelolaan pemerintahan yang semakin baik. Potong alur birokrasi yang memperlama rantai distribusi. Jika cara kemarin gagal, segera evaluasi dan perbaiki, jangan malu,” sambung politisi PKS ini.

Gugus tugas nasional COVID -19 melaporkan sampai saat ini sudah menyalurkan sebanyak 871.150 APD ke berbagai daerah. Proses distribusinya dilakukan dengan dua cara. Yaitu pertama dikirim oleh pesawat milik TNI untuk wilayah perbatasan dan sulit akses transportasi.

Kedua, gugus tugas daerah selain perbatasan mengambil bantuan secara mandiri. Yakni mengirimkan perwakilannya ke Jakarta untuk mengambil lalu kemudian mendistribusikannya.“Gugus tugas pasti punya data berapa rumah sakit yang sedang menangani pasien terkonfirmasi maupun PDP, baik di zona merah maupun tidak. Selain itu, data yang didapat seharusnya lengkap seperti kondisi terkini, RS yang terlibat, puskesmas yang tersedia. Termasuk kebutuhan APD tiap RS dan puskesmas,” ucap Netty.

Sampai saat ini, pemerintah belum mengumumkan kebutuhan APD dalam penanganan COVID -19 ini. Adapun ketersediaan dokter, website Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan jumlah dokter di Indonesia sebanyak 175.138 orang.

“Kita asumsikan jumlah penduduk sebenarnya yang terinfeksi sejumlah 644.524 kasus (2.396 kasus per 1 juta populasi). Namun dari jumlah itu yang membutuhkan perawatan hanya 2,3 persen saja atau 14.824 pasien. Penanganan tiap pasien membutuhkan sampai 10 APD setiap hari. Maka kebutuhan APD-nya sejumlah 140.824 per hari atau 4.224.720 per bulan,” papar Netty.

Jika ditambah petugas lainnya di RS dan Puskesmas, lanjut Netty, tentu semakin banyak kebutuhannya. Belum lagi dengan fenomena Orang Tanpa Gejala (OTG) dan pasien berbohong. “Hal ini berimbas pada kemungkinan tenaga kesehatan tertular semakin besar. Maka, kebutuhan APD menjadi penting di semua sektor layanan kesehatan,” jelas Netty.

Terpisah, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan masyarakat harus tetap tinggal di rumah, menghindari bepergian, dan tidak mudik sebagai cara mencegah diri tertular atau menularkan penyakit COVID-19. "Untuk mencegah tertular COVID-19 yang pertama tetap tinggal di rumah, karena kita tidak pernah tahu siapa orang di luar rumah yang membawa virus," kata Yurianto di Jakarta, Sabtu (25/4).

Dia menuturkan banyak sekali orang tanpa gangguan atau gejala membawa virus penyebab COVID-19 di dalam tubuhnya. Mereka sama sekali tidak memiliki keluhan sakit atau mungkin keluhannya hanya bersifat sangat ringan. Sehingga menganggap diri tidak sakit.

Karena ketidakmampuan diri dalam mengenali orang-orang tanpa gejala secara kasat mata atau dengan mata biasa, lebih baik tetap tinggal di rumah dan menghindari kontak atau bertemu langsung dengan orang lain selama pandemi COVID-19. "Kita tidak bisa membedakan orang-orang seperti ini dengan mata biasa. Oleh karena itu, jangan bepergian, jangan mudik," pinta Yurianto.

Dengan diam di rumah, menjaga jarak, menggunakan masker jika terpaksa harus keluar rumah, tidak bepergian, dan tidak mudik, setidaknya dapat melindungi diri agar tidak tertular COVID-19 atau menularkan ke orang lain. "Kita harus memastikan kita tidak tertular atau malah mungkin kita yang menjadi sumber kita tidak menularkan ke orang lain," tuturnya.

Yurianto mengatakan tidak ada jaminan selama perjalanan yang dilakukan, seseorang aman dari COVID-19. Bahkan tidak ada yang bisa memastikan diri sendiri aman dari COVID-19 jika bepergian. Baik di dalam daerah epicenter COVID-19 ataupun antar daerah.

Ketika bepergian, potensi penularan COVID-19 akan besar dan bisa saja terjadi di manapun. Seperti saat berada di kendaraan umum, terminal, stasiun, bandara, tempat peristirahatan (rest area) dan toilet umum sepanjang perjalanan. "Mungkin dan akan sangat mungkin kita akan bertemu dan terpaksa kontak dekat dengan orang lain yang tanpa gejala atau orang yang gejalanya sangat ringan di perjalanan," terangnya.

Ketika sampai di rumah atau kampung halaman setelah bepergian atau melakukan perjalanan, maka yang dikhawatirkan adalah virus yang dibawa dari luar rumah menyebar ke anggota keluarga di rumah atau di kampung halaman. Selain diri sendiri, anggota keluarga dan kelompok rentan seperti orang tua dan mereka yang memiliki penyakit kronis juga harus dijaga dari potensi penularan COVID-19.

Admin
Penulis