News . 25/04/2020, 02:50 WIB
JAKARTA - Sejumlah ide atau gagasan baru perlu ditawarkan jika opsi penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja terus mencuat. Salah satunya, melakukan upaya penyederhanaan perizinan dan menciptakan iklim investasi yang sehat.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan, pernyataan para akademisi menolak RUU Ciptaker adalah hal yang sah. Hanya saja, kalau mereka menolak, apa ide dan tawaran dalam upaya melakukan penyederhanaan perizinan dan iklim investasi yang sehat.
"Para pihak yang menolak RUU Ciptaker jangan hanya meminta dan mendesak agar DPR menghentikan pembahasan RUU. Namun tidak disampaikan apa tawarannya. Seharusnya memberikan kontribusi nyata. Yaitu berupa tawaran gagasan untuk masalah dan tantangan-tantangan terkait tumpah tindihnya regulasi serta solusi dari ruwetnya birokrasi perizinan," kata Willy di Jakarta, Jumat (24/4).
Selain itu, dia menilai para akademisi itu juga bisa membangun opini yang mencerdaskan di berbagai media dan saluran komunikasi lainnya. Terlebih, jika mereka memandang RUU Ciptaker atau konsep Omnibus Law berbahaya.
DPR, lanjutnya, hanya sekedar membahas sebuah RUU. Karena apa pun yang diusulkan oleh pihak manapun akan dibahas secara tuntas. Termasuk RUU Ciptaker. "Jangan pernah berpikir kalau sebuah RUU masuk Prolegnas atau lalu otomatis akan lolos atau disahkan. Semuanya dipertarungkan," jelasnya.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arwani Thomafi menilai penundaan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dapat dilakukan melalui hak politik yang dimiliki masing-masing pihak sebagai perumus UU. Yaitu fraksi-fraksi di DPR.
"Mekansime penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja dapat dilakukan melalui hak politik yang dimiliki masing-masing pihak sebagai perumus UU. Dalam konteks ini, fraksi-fraksi di DPR memiliki hak politik untuk tidak ikut serta atau hadir dalam pembahasan sebuah RUU," kata Arwani di Jakarta, Jumat (24/4).
Dia mengatakan, dalam praktiknya, mekanisme politik sering ditempuh oleh DPR maupun Presiden dalam pembahasan sebuah RUU yang akhirnya pembahasan tersebut tidak dilanjutkan. Arwani mencontohkan pengalamannya sebagai Ketua Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol. Sikap politik pemerintah yang tidak hadir dalam sejumlah kesempatan rapat akhirnya menjadikan RUU tersebut tidak dibahas dan disahkan. "Ada juga seperti RUU Pertembakauan dan RUU Wawasan Nusantara. Jelas sekali bahwa praktik tersebut ada presedennya dan hal yang lazim saja," imbuhnya.
Dia menjelaskan ada tiga dasar ketidakikutsertaan dalam pembahasan sebuah RUU. Yaitu aspirasi dari publik, urgensi pembahasan, dan momentum. Menurut dia, tiga dasar itu cukup menjadi alasan bagi DPR sebagai wakil rakyat untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja. "Jadi, tidak semata-mata urusan teknis-prosedural semata. Apalah makna teknis-prosedural namun justru menyampingkan hal yang substansial. Yakni aspirasi, urgensi dan ketiadaan momentum," paparnya.
Ia menilai jika situasi dan momentum sudah tepat setelah penanganan pandemi COVID-19 maka semua stakeholder dapat kembali duduk bersama membahas substansi dalam RUU Cipta Kerja. (khf/fin/rh)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com