JAKARTA - Fenomena munculnya ribuan cacing tanah di Solo dan Kalten, Jawa Tengah, belum bisa dipastikan sebagai pertanda gempa besar. Meski demikian, masyarakat diminta waspada karena Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengungkapkan fenomena kemunculan ratusan cacing tanah di Solo dan Klaten, Jawa Tengah, belum dapat dipastikan sebagai pertanda akan terjadi gempa. Sebab dasar tersebut belum didukung bukti-bukti yang mendukung.
"Munculnya cacing di beberapa tempat di Solo dan Klaten, akhir-akhir ini, tampaknya belum dapat dikatakan sebagai petunjuk akan terjadi gempa. Fenomena cacing di daerah tersebut berdiri sendiri, tidak didukung bukti-bukti alamiah lain beserta data anomali prekursornya," katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/4).
Meski demikian, Daryono menyebut kemunculan cacing yang dikaitkan dengan potensi terjadinya gempa bukan tanpa alasan. Sebab ada beberapa peristiwa gempa besar yang diawali dengan kemunculan cacing tanah secara massal.
Dikatakannya, 10 hari sebelum gempa pada tahun 1999 di Chi Chi, Taiwan, ratusan cacing tanah muncul ke permukaan. Selanjutanya fenomena yang sama juga terjadi di Haicheng, China, 1975. Beberapa hari sebelumnya juga dilaporkan adanya kemunculan cacing tanah yang sangat banyak.
Tidak hanya itu, beberapa sumber pustaka lain juga mengungkap fenomena kemunculan cacing tanah menjelang gempa, seperti kajian Chen dan kawan-kawan (2000), Rikitake (1979), Whitehead dan Ulusoy (2013), dan Liso dan Fidani (2014).
Dijelaskan Daryono, menurut Grant dan Conlan (2015), kemunculan cacing tanah menjelang gempa, terkait dengan anomali gelombang elektromagnetik frekuensi rendah. Munculnya anomali ini dilaporkan terjadi beberapa hari sebelum gempa bumi.
Meski demikian, berdasarkan laporan kemunculan cacing yang terjadi di berbagai tempat di dunia menjelang gempa besar, ternyata selalu didukung data perilaku gejala alamiah tak lazim lainnya, seperti kemunculan ular di beberapa tempat, anjing yang terus menggonggong bersahutan, dan ikan yang melompat-lompat di kolam.
"Selain itu ilmuwan juga menandai adanya anomali prekursor gempa. Prekursor gempa adalah sebuah anomali kondisi lingkungan fisis yang menjadi petunjuk akan terjadinya gempa," terangnya.
Menurutnya, prekursor gempa tersebut dapat berupa anomali permukaan tanah, elevasi muka air tanah, dan emisi radon yang terjadi berbarengan. Radon merupakan unsur radioaktif, gas radon dipercaya akan keluar ketika batuan akan melepaskan stressnya, sehingga radon menjadi parameter penting dalam prekursor gempa bumi.
"Jika tidak ada data dukung penguat lainnya maka munculnya cacing secara massal ke permukaan diduga diakibatkan perubahan kondisi cuaca, iklim, dan lingkungan yang mendadak, termasuk kemungkinan terpapar bahan kimia, seperti disinfektan dan lain-lain," jelasnya.
Meski demikian, Daryono mengingatkan agar masyarakat tetap waspada akan terjadinya gempa. Sebab Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni, Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.
"Sebaiknya masyarakat harus selalu waspada, mengingat peristiwa gempa kuat dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan belum dapat diprediksi," katanya.
Pakar Lingkungan Hidup Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prabang Setyono, mengatakan peristiwa itu logis jika dihubungkan dengan fenomena banyaknya gunung berapi yang aktif secara bersamaan. Namun, dia mengaku belum melakukan penelitian mendalam.
"Tapi logis sekali, sekarang kan banyak gunung-gunung yang dianggap tidur beraktivitas lagi, ada tujuh atau berapa gunung. Orang belum bisa menjawab itu, tapi dengan tanda alam seperti itu saya sepakat dikaitkan," jelasnya.