JAKARTA - Dua warga sipil korban salah tembak meninggal dunia di Papua. Keduanya ditembak aparat keamanan lantaran disangka anggota kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejumlah organisasi HAM menuntut pengusutan oleh tim independen terhadap kasus tersebut.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mendesak pembentukan tim independen untuk mengungkap kasus penembakan dua pemuda Papua tersebut.
"KontraS mendesak pertanggungjawaban negara atas dugaan tindakan pembunuhan secara sewenang-wenang dan penyalahgunaan senjata api terhadap warga sipil di Mimika, Papua," terang Yati melalui keterangan tertulis yang diterima Jumat (17/4).
BACA JUGA: Usulan Anies Ditolak, KRL Jabodetabek Tetap Beroperasi
Selama sepekan belakangan tercatat tiga warga sipil diduga ditembak aparat kemanan di areal PT Freeport Indonesia. Yati mengatakan, satu di antaranya bahkan masih di bawah umur."Korban atas nama MM (16 tahun) meninggal akibat luka tembak di Jalan Trans Timika, Papua masih pada hari yang sama (13/4)," imbuh Yati.
Sedangkan dua korban lainnya adalah Ronny Wandik (23) dan Eden Armando Debari (19).
Peristiwa tersebut, kata Yati, menambah panjang daftar dugaan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua. Pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah di Papua, sebagai dalih untuk pengamanan dan perlindungan warga Papua, dinilai Yati, justru menyebabkan masyarakat sipil menjadi korban.
"Peristiwa serupa terus berulang, karena tidak ada efek jera dan impunitas yang terus terjadi di Papua," imbuh Yati.
Termasuk memastikan institusi TNI/Polri ataupun pihak-pihak dari Polri/TNI tidak melakukan tindakan yang bertujuan untuk menutup pertangggunjawaban kasus ini sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
BACA JUGA: Grafik Pasien Sembuh Naik Pesat
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman HAmid membeberkan, Ronny Wandikdan Eden Armando Debari tewas ditembak aparat kemanan saat hendak menangkap ikan di areal Mile 34 Distrik Kwamki Narama, Timika Papua, Senin (13/4)."Berdasarkan kronologi yang dihimpun dari keluarga korban, kedua korban pergi untuk menangkap ikan di Kali Biru dengan membawa peralatan menangkap ikan (kaca molo dan senapan tembak ikan)," katanya.
Ronny dan Eden disebut berada di Kali Biru sejak pagi hingga sekira pukul 14.00 WIT. Usman melanjutkan, tak lama kemudian keduanya didatangi sejumlah Satuan Tugas Penegak Hanya (Satgas Gakum) TNI. Tanpa bertanya, masih tutur Usman, sejumlah aparat itu langsung melepaskan tembakan ke arah keduanya, sehingga keduanya tewas.
"Anggota Satgas Gakkum TNI diduga menembak kedua korban karena berasumsi bahwa keduanya merupakan anggota kelompok kriminal separatis bersenjata yang hendak menyerang PT Freeport Indonesia di Timika," terang Usman.
Usman mengatakan aparat keamanan tidak mampu menunjukkan bukti asumsi tersebut. Sementara kerabat korban Kris Ohee menjelaskan kedua korban bukanlah anggota OPM. Mereka, sambung Kris, hanya sering mencari ikan di sekitar sungai tersebut.
Saat menemui keluarga korban penembakan di kamar jenazah RSUD Mimika, Kapolda Papua, Irjen Polisi Paulus Waterpauw, mengakui bahwa situasi dan kondisi keamanan di wilayah Mimika sedang kurang kondusif akibat dari adanya sekelompok orang yang bersenjata melakukan aksi kekerasan secara masif kepada aparat TNI dan Polri, dan karyawan PT. Freeport Indonesia.
BACA JUGA: Pandemi Covid-19, Penjualan BBM Anjlok 34,9 Persen
Sehingga, menurut dia, sejumlah satuan tugas ditugaskan di wilayah Mimika, termasuk di area pertambangan PT Freeport Indonesia sebagai salah satu obyek vital nasional. Dia juga beralasan, situasi yang begitu terbuka membuat sulit membedakan anggota kelompok kriminal bersenjata dengan biasa.Atas kejadian ini, Pangdam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI Herman Asaribab, berjanji untuk membentuk tim investigasi untuk mengusut penyebab kematian kedua korban di Mile 34 secara tuntas.
Pada 2018, Amnesty International Indonesia menerbitkan laporan berjudul “Sudah, Kasih Tinggal Dia Mati!” yang mencatat sebanyak 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua antara Januari 2010 sampai Februari 2018, dengan memakan 95 korban jiwa.