News

Rupiah Melemah, Utang PLN Membengkak

fin.co.id - 17/04/2020, 10:33 WIB

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Dalam kondisi pandemi virus corona atau Covid-19 ini membuat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) cenderung mengalami pelemahan. Hal ini menyebabkan utang Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjadi bengkak.

Berdasarkan data Bloomberg, Rupiah parkir di level Rp15.640 per Dolar AS, terkoreksi 0,42 persen atau 65 poin pada kemarin (16/4). Sebelumnya, Rupiah ditutup di level Rp15.565 per Dolar AS.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, setiap pelemahan nilai tukar Rupiah sekitar Rp1.000 akan membuat utang perusahaan listrik pelat merah itu kan naik sebesar Rp9 triliun.

"Kalkulasi kami, utang setiap Rp1.000 per pelemahan terhadap Dolar AS maka biaya beban meningkat Rp9 triliun. Kalau Rupiah melemah Rp2.000 maka Rp18 triliun peningkatan biaya utang kami," ujarnya dalam video conference, kemarin (16/4).

Ia menjelaskan, bertambahnya utang salah satunya akibat utang yang dimiliki PLN dalam bentuk valas atau mata uang asing. Pasalnya, PLN mengandalkan utang sebesar 70 persen dari perbankan luar negeri.

"Kebutuhan PLN jauh lebih besar, sehingga kami meminjam dari bank di luar domestik. Kami mencatat, sekitar 70 persen utang dalam bentuk valas," ungkap dia.

Kendati demikian, PLN telah melakukan sejumlah mitigasi bagaimana menekan pembengkakan utang tersebut. Salah satunya melakukan hedging, yaitu strategi untuk melindungi dana dari fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak menguntungkan. "Secara operasional kami terus memitigasi risiko melalui hedging," tutur dia.

Terpisah, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna mengatakan, pemerintah perlu melakukan negosiasi ulang dengan pihak-pihak perbankan selalu pemberi utang. Artinya ada dispensasi atas adanya penyebaran Covid-19.

"Iya, PLN perlu renegosiasi kepada pihak-pihak yang sudah memberikan utang. Sebab kondisinya sekarang tidak normal. Jadi, pemerintah juga bisa mendorong hak itu," ujar Ariyo kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (16/4).

Sementara itu, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai, dalam kondisi saat ini pemerintah agar tak terlalu buru-buru untuk menurunkan harga BBM.

"Saya menilai, penurunan harga BBM saat ini tak akan memberikan dampak yang signifikan sebab saat ini banyak masyarakat yang Work From Home (WFH), serta banyak industri yang menghentikan produksinya," kata dia.

Diketahui, saat ini periode April 2020 harga minyak mentah dunia jenis Brent jatuh di kisaran USD25 per barel dan WTI di kisaran angka USD20 per barel. Sebelumnya, pada periode Januari 2020 harga minyak mentah Brent masih di kisaran USD67,02 per barel dan minyak mentah berjangka (WTI) di kisaran USD59,80 per barel sementara harga minyak mentah Indonesia (ICP) ada di kisaran USD65,38 per barel.(din/fin)

Admin
Penulis
-->