News . 12/04/2020, 09:15 WIB

Perpres APBN Disoal DPR

Penulis : Admin
Editor : Admin

JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) 2020 direspon DPR RI. Kebijakan ini dinilai sangat berpotensi mereduksi hak konstitusional DPR. Pembicaraan menyangkut APBN harus selalu melibatkan DPR RI, sesuai Pasal 20a (1) dan Pasal 23 (1) UUD NRI Tahun 1945.

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Aboe Bakar Al-Habsy merespon penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 oleh Presiden Joko Widodo. “Saya sangat menyayangkan jika presiden diberikan masukan untuk menerbitkan Perpres untuk APBN. Saya bisa memahami. Pemerintah perlu kerja cepat untuk menangani Corona. Sebenarnya DPR siap melakukan akselerasi dalam pembahasan anggaran,” ujar Al Habsy di Jakarta, Sabtu (11/4).

Dia menambahkan, secara prinsip semua pembahasan UU dan anggaran seharusnya fokus untuk menangani Corona. “Kesampingkan dulu pembahasan yang tidak terkait Ccorona. Seperti Omnibus Law maupun anggaran untuk Ibu Kota. Keselamatan rakyat menjadi prioritas utama,” tegas Ketua Badan Kehormatan Dewan ini.

Disinilah, lanjutnya, diperlukan sinergitas Pemerintah dan DPR untuk mengatur kebijakan secara akseleratif. “Perlu dilihat kembali konstitusi. Pasal 23 ayat 2 menyatakan bahwa APBN itu direncanakan oleh Presiden dan dibahas bersama dengan DPR,” terangnya. Artinya, setelah disusun oleh Pemerintah, APBN perlu dibahas bersama dengan parlemen. Selain itu pada pasal 23 ayat 1 dikatakan bahwa APBN itu ditetapkan dengan UU. Bukan dengan Perpres.

“Seharusnya para ahli hukum di Istana dapat memberikan masukan yang baik untuk presiden. Jangan sampai nanti rakyat melihat langkah yang diambil presiden ini inkonstitusional. Karena publik melihat apa yang digariskan konstitusi tidak ditaati oleh Presiden,” tuturnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, jelas sekali menurut aturan main konstitusi pembahasan APBN harus melibatkan DPR. Pasal 20a ayat 1 UUD 1945 menyatakan DPR memiliki fungsi anggaran. Fungsi tersebut diperkuat dengan Pasal 23 ayat 1 yang menyatakan APBN ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan bahasa yang lebih lugas, Heri menyebut Perpres tersebut mengebiri hak konstitusional DPR. Perpres ini merupakan aturan pelakasana dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi COVID-19.

Perpres ini telah mengubah target penerimaan negara menjadi Rp1.760,9 triliun. Nilai itu turun Rp472,3 triliun dari target awal penerimaan negara sebelumnya sebesar Rp2.233,2 triliun. Angka tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp1.462,6 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 297,8 triliun sebelumnya Rp 366,9 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp 498 miliar.

Sementara itu, untuk alokasi belanja negara meningkat Rp 73 triliun dari sebelumnya Rp2.540,4 triliun menjadi sebesar Rp2.613,8 triliun. Adapun dalam Perpres disebutkan belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.851 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp761,7 triliun. "Nantinya pembiayaan anggaran akan melalui pembiayaan utang, pemberian pinjaman, kewajiban pinjaman, dan pembiayaan lainnya," jelas Anggota Baleg DPR RI tersebut.

Defisit anggaran yang semula 1,76 persen diubah menjadi 5,07 persen. Total utang yang tadinya hanya Rp 307,2 triliun berubah menjadi Rp 852,93 triliun. Selain itu, defisit keseimbangan primer juga akan meningkat dari Rp 12 triliun menjadi Rp517,7 triliun.

Dari sisi belanja pemerintah pusat, Menteri Keuangan bisa menetapkan pergeseran pagu antar-anggaran, perubahan belanja yang bersumber dari PNBP dan penggunaan kas BLU serta pinjaman luar negeri. Begitu juga, perubahan kewajiban yang timbul dari penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL), pinjaman tunai, penerbitan SBN, dan kas BLU, hingga realokasi anggaran bunga utang.

“Perpres tersebut mencantumkan dasar hukum pembuatannya. Yaitu Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Dari sini dapat disimpulkan tampaknya Pemerintah ingin mengebut sendiri dengan mengabaikan rambu-rambu hukum. Main terabas. Jika disimak bunyi Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar," ungkap Heri.

Politisi Partai Gerindra itu menjelaskan, jika hanya merujuk Pasal 4 (1) UUD, maka Presiden bisa melakukan apa saja. Presiden seperti raja. Ucapannya adalah hukum. “Kami menilai dari sisi positifnya saja. Mungkin orang-orang di lingkaran Presiden-lah yang ingin menjerumuskan Presiden menjadi sosok penguasa tunggal. Presiden dalam hal ini mengikuti saja. Karena sedang kalut memikirkan kondisi negara yang genting,” kilahnya.

Ia menilai, Presiden mungkin lupa bahwa Indonesia menganut pemisahan kekuasaan. Ada kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR, dan kekuasaan yudikatif oleh MA/MK. Legislator dapil Jawa Barat IV itu berpendapat, sangat berlebihan jika Perppu dijadikan dasar hukum mengubah postur APBN. Perppu masih harus meminta persetujuan DPR.

Jika DPR menolak, maka Perppu akan batal dengan sendirinya. “Jika Perppu batal, maka Perpres juga batal. Maka segala yang sudah diputuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah akan kehilangan pijakan hukum. Dalam membuat Perpres Nomor 54 Tahun 2020 mestinya jangan hanya membaca Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Tapi baca juga Pasal 20a ayat 1 dan Pasal 23 ayat 1 UUD 1945. Solusinya, jika Pemerintah ingin merubah APBN sangat mudah, tinggal ajukan ke DPR. Nanti DPR bersama Pemerintah akan membahas revisi UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN tahun 2020,” tandasnya. (khf/fin/rh)

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com