Hal senada juga disampaikan Ketua DPP Partai Golkar Iqbal Wibisono. Dia menyatakan dana jaring pengaman sosial Rp110 triliun harus benar-benar tepat sasaran. Sehingga penerapan PSBB di suatu daerah tidak menimbulkan masalah baru.
"Kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, harus menyampaikan data terkini. Apalagi pandemi COVID-19 ini berpotensi melahirkan orang miskin baru. Karena penghasilan mereka menurun. Bahkan ada di antara mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK)," jelas Iqbal, Rabu (8/4).
Menurutnya, saat ini negara membutuhkan pemikiran dan pengorbanan semua pihak. Menyinggung soal dana Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial, politisi Partai Golkar ini mengatakan anggaran tersebut relatif cukup besar untuk mengatasi musibah di Tanah Air. Dia berharap tidak ada penyimpangan dalam penyaluran anggaran sebesar itu. Karena masyarakat yang berada di wilayah PSBB sangat membutuhkan dan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena itu, Iqbal menekankan bahwa insentif perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun harus tepat sasaran. Termasuk keluarga penerima manfaat (KPM) dalam Program Keluarga Harapan yang pembayarannya mulai April 2020. Begitu pula, pemegang kartu sembako adalah masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Apalagi pada masa pandemi COVID-19 ini, ada kenaikan 33 persen, dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu selama 9 bulan.
Menyinggung kembali korban PHK akibat wabah COVID-19, Iqbal menegaskan mereka harus mendapat prioritas dalam program Kartu Prakerja. Mereka akan mendapat insentif pascapelatihan sebesar Rp600 ribu dengan biaya pelatihan Rp1 juta. "Pekerja informal serta pelaku usaha mikro dan kecil juga harus mendapat bantuan agar tetap mendapatkan penghasilan. Apalagi mereka yang tinggal di daerah PSBB," papar Iqbal.
Terkait dengan dana jaring pengaman sosial juga untuk menggratiskan abonemen listrik bagi 24.000.000 pelanggan listrik daya 450 VA dan diskon 50 persen untuk 7.000.000 pelanggan 900 VA bersubsidi, menurut Iqbal, perlu melihat kondisi terkini.
Terpisah, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta PLN segera memberi penjelasan. PLN perlu memberikan ilustrasi perhitungan tarif listrik yang berlaku selama masa darurat Corona. Tujuannya, agar masyarakat tidak salah paham.
Sebelumnya, di media sosial banyak ditemukan keluhan pelanggan PLN golongan nonsubsidi tentang tarif listrik Maret 2020. Umumnya pelanggan listrik pascabayar tersebut merasa jumlah tagihan tarif listrik Maret 2020 lebih besar dan tidak wajar.
Mereka menduga PLN telah menaikan tarif listrik secara diam-diam untuk menunjang program diskon tarif dan gratis tarif bagi pelanggan listrik bersubsidi. Mulyanto menyayangkan dalam kondisi prihatin seperti ini masyarakat harus menanggung beban tambahan biaya tarif listrik. Padahal sebelumnya Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) sudah berjanji tidak akan menaikan tarif listrik hingga Juni 2020.
"Saya sudah tanyakan langsung masalah ini ke Direksi PLN. Menurutnya, jumlah tagihan listrik bulan Maret dihitung berdasarkan angka rata-rata pembayaran listrik selama tiga bulan terakhir. Karena selama masa darurat Corona, PLN meniadakan kegiatan catat meter oleh petugas,” paparnya.
Penjelasan Direksi PLN ini menurut Mulyanto masih membingungkan masyarakat. Jika benar tarif dihitung berdasarkan angka rata-rata penggunaan listrik selama tiga bulan terakhir, harusnya jumlah yang didapat tidak sampai melonjak drastis. “Fakta di lapangan kami dapat laporan ada pelanggan tagihannya melonjak hingga 80 hingga 100 persen. Ini sangat membingungkan," jelas Mulyanto.
Dia minta PLN transparan soal tarif listrik bulan Maret 2020. PLN harus komitmen dengan rencana awal bahwa di masa darurat Corona ini akan meringankan beban tagihan listrik masyarakat dan dunia usaha. Dia menyarankan PLN mencari model perhitungan lain yang tidak memberatkan pelanggan jika cara perhitungan rata-rata ini malah menambah beban masyarakat. PLN harus memahami kondisi masyarakat yang tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara normal akibat pandemi COVID-19.(khf/fin/rh)