News . 09/04/2020, 10:34 WIB
JAKARTA - Kementerian Sosial harus cepat dan jeli menentukan sasaran penerima manfaat bantuan sosial. Terlebih, masyarakat yang mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi keluarga miskin dan rentan yang belum mendapatkan program PKH dan Sembako untuk penanggulangan masyarakat terdampak COVID-19.
Anggota Komisi VIII DPR RI Nurhasan Zaidi, mengatakan pemerintah harus mensosialisasikan bantuan tersebut sedetail-detailnya. Terutama sasaran utama dari program-program tersebut. Yakni yakni diprioritaskan untuk masyarakat yang terdaftar Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). “Jangan sampai masyarakat terluka dan merasa diberikan angin surga. Khawatir menimbulkan kegaduhan dan konflik sosial, ini harus diantisipasi,” ujarnya Nurhasan di Jakarta, Rabu (8/4).
Seperti diketahui, Kementerian Sosial ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menangani program social safety net bagi masyarakat yang terdampak COVID-19. Dari dana Stimulus Penanganan COVID-19 sebesar Rp405 triliun, sebanyak Rp110 triliun dialokasikan untuk dana Jaring Pengaman Sosial.
Dari angka Rp110 triliun tersebut, selain untuk subsidi listrik dan kartu prakerja, kemensos mengalokasikannya dalam bentuk penambahan Kartu sembako dari 15,2 juta menjadi 20 juta KPM, dengan manfaat sebesar Rp200 ribu selama sembilan bulan. Jugha PKH disalurkan kepada 10 juta KPM, yang bantuannya dinaikkan 25 persen dalam setahun. Kemensos juga menggulirkan program khusus Sembako untuk DKI Jakarta sebagai wilayah episentrum COVID-19 dan skema BLT untuk 7,5 KPM dengan nilai Rp600 ribu per bulan.
“Kita apresiasi langkah kemensos yang sigap merefocusing program anggaran kementrian untuk mengatasi dampak sosial ekonomi dimasa social distancing saat ini. Semua harus dilakukan dengan cepat. Tetapi jangan sampai salah sasaran. Kita minta 7,5 juta KPM BLT harus benar-benar teralokasikan dengan benar. DPR akan terus kawal ini,” papar Nurhasan.
Pihaknya mencoba memahami alasan kemensos menggunakan DTKS sebagai rujukan utama sasaran program Bansos tersebut. “Tetapi pemerintah juga harus ingat banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam DTKS. Banyak juga yang terimbas dan rentan jatuh miskin dalam kondisi sekarang. Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah,” lanjutnya.
Terkait dengan harapan masyarakat umum atas statement pemerintah tentang bantuan ini, Nurhasan menegaskan jangan sampai masyarakat salah persepsi. Sehingga menimbulkan konflik sosial dan kegaduhan yang menurunkan kewibawaan pemerintah.
Paket bantuan sosial tersebut mewujud dalam peningkatan jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH), sembako, kartu prakerja, kompensasi tarif listrik, serta relaksasi kredit bagi pekerja informal. Namun, dengan anggaran sebesar itu bukan berarti tanpa ada potensi masalah.
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menilai, wabah COVID-19, turut membawa bencana ekonomi. Khususnya bagi kelompok masyarakat rentan miskin. Berdasarkan Basis Data Terpadu dalam RAPBN 2020, jumlah masyarakat rentan miskin di Indonesia mencapai 99.359.312 jiwa atau 31.430.304 kepala keluarga.
Menurutnya, angka statistik tersebut merepresentasikan potret kelompok masyarakat yang paling terdampak akibat wabah COVID-19. Dampak multidimensional COVID-19 adalah hantaman keras bagi masyarakat dari aspek ekonomi dan sosial. Pemerintah harus bergerak cepat dengan menyalurkan paket bantuan sosial yang telah disiapkan secara tepat sasaran dengan mengacu pada DTKS.
“Namun, apakah itu cukup. Saya kira belum. Pertanyaan selanjutnya justru tentang nasib masyarakat rentan miskin yang belum tercatat di DTKS. Sejauh apa peran Kemensos dalam memastikan segmen masyarakat ini turut merasakan manfaat dari bansos senilai Rp110 Triliun tersebut. Saya pikir hal inilah yang perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan angka masyarakat miskin baru,” paparnya.
Bukhori menilai, bantuan sosial turut berpotensi menjadi sumber konflik sosial ketika dalam proses distribusinya dilakukan tidak berdasarkan data terkini dan akurat. Bantuan sosial yang sejatinya ditujukan untuk membuat masyarakat menjadi lebih kondusif dan terbantu justru menjadi kontradiktif ketika penyalurannya tidak tepat sasaran.
“Potensi kecemburuan sosial, gesekan sosial, bahkan berbagai konflik horizontal sangat tinggi di tengah situasi krisis ini. Ini perlu dicermati oleh pemerintah. Sebab masyarakat sudah terbebani sebelumnya oleh penyebaran virus dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat respon lamban pemerintah. Karena itu, penyaluran bantuan sosial harus dilakukan secara profesional dan bertanggungjawab. Agar tidak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat dan manfaatnya bisa dirasakan secara nyata,” tukasnya.
Bukhori juga menyoroti kebijakan terbaru pemerintah terkait penanganan COVID-19. Ia menyinggung Peraturan Menteri Kesehatan No 9/2020 tentang pedoman PSBB khususnya pada Bab II Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pasal 4.
Klausul tersebut justru menyulitkan daerah yang masih steril untuk melakukan langkah pencegahan melalui PSBB. Karena secara logika, wilayah yang masih steril tidak mungkin memiliki tiga syarat yang sudah ditetapkan pusat tersebut. Sejauh ini hanya provinsi NTT dan Gorontalo yang belum ditemukan kasus positif COVID-19. “Inisiatif daerah untuk lockdown dilarang. Sedangkan bagi daerah yang ingin melakukan pencegahan penularan virus melalui PSBB justru dipersulit dengan syarat administratif dan birokratis,“ pungkas Bukhori.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com