JAKARTA – Pasca aksi unjuk rasa penolakan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Gedung DPR, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD angkat bicara. Ia mempersilakan masyarakat mengkritisi. Tetapi jangan disertai kecurigaan yang berlebihan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengaku etuju dengan penolakan yang disuarakan oleh buruh dan mahasiswa. Hanya saja, perlu diskusi agar seluruh saran dan masukan serta aspirasi bisa didengar. "Mari diskusi. Saya setuju saja dengan orang yang mengatakan itu UU omnibus law jelek. Nggak apa apa, maka diperbaiki. Mumpung ini masih dibahas," ujar Mahfud di Jakarta, Selasa (10/3).
Dia melanjutkan, setiap kritikan yang dilontarkan adalah hal yang sah. Hanya saja, menjadi tidak baik ketika kritikan tersebut sudah disertai dengan kecurigaan yang berlebihan. Apalagi, belum membaca isi draft Omnibus Law tersebut.
BACA JUGA: Minyak Dunia Anjlok, Harga BBM Harusnya Turun
Mahfud menjelaskan Omnibus Law dibuat untuk menyederhanakan berbagai aturan yang selama ini tumpang tindih pelaksanaannya. Tidak hanya di bidang ketenagakerjaan. Ia mencontohkan Omnibus Law Keamanan Laut yang juga tengah disusun untuk menyederhanakan aturan dalam pengelolaan keamanan laut yang selama ini ditangani oleh tujuh institusi yang berbeda. "Anda masuk ke laut saja diperiksa oleh tujuh institusi. Sudah selesai di sini, ternyata belum selesai. Bea cukainya, imigrasinya. Sudah selesai imigrasi, perhubungannya belum," imbuhnya.Sama halnya dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Mahfud meminta jangan kemudian kehadiran regulasi tersebut dicurigai untuk membukakan pintu kepada bangsa tertentu untuk berinvestasi. "Ada yang mengatakan ini untuk memberikan pintu kepada bangsa tertentu, nggak ada. Ketika bicara Ombibus Law, nggak ada urusan dengan negara lain," paparnya.
Pemerintah, lanjutnya, hanya ingin menyederhanakan aturan untuk mengundang investasi di Indonesia. Dia menyarankan mereka yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja untuk membaca terlebih dulu isinya. "Baca dulu, baru berdebat. Saya melihat ada kesalahan-kesalahan di UU itu. Biar diperbaiki, ada DPR nanti, masih lama ini. Belum apa-apa sudah ditolak. Disebut kapitalisme baru dan macam-macam," terangnya.
BACA JUGA: Tambahan Libur Belum Tentu Dongkrak Sektor Pariwisata
Sebelumnya, Ketua DPP Nasdem Willy Aditya menyarankan agar klaster tentang ketenagakerjaan di omnibus law RUU Cipta Kerja dihapus dari draf. Ia menilai, klaster ketenagakerjaan ini menjadi sumber utama penolakan publik atas RUU Cipta Kerja. "Apa yang salah adalah klaster ketenagakerjaan. Kan ada 11 klaster dalam omnibus law itu. Kalau seandainya presiden mau melakukan 100 hari, maka lebih baik klaster ketenagakerjaan ditangguhkan saja," terang Willy.Ia meyakini, jika usulan ketenagakerjaan dihapus, target penyelesaian 100 hari yang digaungkan oleh pemerintah bisa teralisasi. Ia melanjutkan, klaster tentang ketenagakerjaan bisa digabungkan dengan revisi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No 2/2004 yang juga masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. "Nanti klaster itu ketenagakerjaan dimasukkan saja ke UU PPHI yang masuk ke prolegnas prioritas 2020. Ketika itu terjadi, nama bisa berubah jadi RUU Kemudahan Investasi dan Perizinan," pungkasnya. (khf/fin/rh)