[caption id="attachment_438356" align="alignleft" width="1280"]
Plt. Ketua DKPP Muhammad[/caption]
Plt. Ketua DKPP ini juga mengibaratkan lembaganya, seperti dokter yang dapat melakukan tindakan terbaik untuk pasiennya, dan tak segan-segan memberikan tindakan terburuk untuk menjaga anggota tubuh lainnya agar tak terkena penyakit.
”DKPP itu seperti dengan dokter di kamar operasi. Kalau ada luka kecil di bagian tubuhnya dan diagnosa bisa sembuh, maka dengan otoritas keilmuan dokter dia putuskan untuk diobati, diinjeksi, diperban, suruh balik lagi dengan harapan luka itu bisa sembuh,” timpalnya.
Tetapi, sambung dia, kalau luka itu ternyata berpotensi kanker dan bisa merusak bagian tubuh yang lain, dengan otoritas keilmuannya (dokter) tidak ragu-ragu untuk memutuskan untuk diamputasi bagian tubuh ini. ”Supaya menyelamatkan bagian tubuh yang lain. Kalau DKPP terpaksa harus sampai pada keputusan pemberhentian, itu benar-benar menjaga marwah lembaga KPU dan Bawaslu, makanya jangan takut dengan DKPP,” timpalnya.
Dalam Penanganan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku, serta dalam rangka standarisasi perilaku etik penyelenggaran Pemilu, pedoman etika dan perilaku penyelenggaran Pemilu hanya berpedoman pada Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pedoman Kode Etik dan Kode Perilaku Penyelenggara Pemilu. Adapun hukum beracara penegakkan kode etik dapat disesuaikan dengan Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman dalam penegasannya, meminta Pemerintah Daerah tak mengubah Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang telah diselesaikan. ”Anggaran yang sudah diajukan oleh 270 daerah yaitu Rp. 11,9 triliun, tetapi setelah pembahasan, yang bisa disepakati yaitu Rp. 9,9 triliun. Tetapi di beberapa daerah ada Pemda yang melakukan revisi/mengubah kesepakatan dalam NPHD yang dibuat sebelumnya, ini nanti akan kami cari solusinya, contohnya di Kabupaten Karangasem,” kata Arief.
[caption id="attachment_438357" align="alignleft" width="1280"]
KPU RI Arief Budiman[/caption]
Dikatakan Arief, terjadinya pembahasan pasca terjadinya NPHD seharusnya tak lagi terjadi, pasalnya NPHD merupakan keputusan kedua belah pihak yang telah bersifat final. Oleh karenanya, jika masih ada daerah yang masih melakukan pembahasan, maka akan dilakukan mediasi dengan Kemendagri sebagai pembina pemerintah daerah. ”Harusnya revisi NPHD yang telah dibuat ini tidak terjadi, tapi kenyataannya masih ada daerah yang melakukan pembahasan. Inilah yang nanti akan kita cari solusinya difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga menjelaskan tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020 yang tengah memasuki tahapan penyerahan dukungan untuk bakal calon perseorangan. Meski demikian, pendaftaran bakal calon perseorangan akan tetap dibuka berbarengan dengan bakal calon yang akan diusung oleh Partai Politik.
”Hari ini penyerahan dukungan untuk perseorangan baik untuk Gubernur, Bupati/Walikota sudah diselesaikan di KPU. Sekarang KPU melakukan proses untuk menyimpulkan siapa saja yang bisa ke tahap selanjutnya, verifikasi administrasi ke faktual. Kalau perseorangan sudah memenuhi syarat, nanti di bulan Juni, mereka akan mendaftarkan sebagai calon bersama bakal pasangan calon yang diusung oleh Parpol. Jadi, nanti pendaftarannya dilakukan bersama,” katanya. (fin/ful)
//INFOGRAFIS//
ISI PASAL 71 UU NOMOR 10 TAHUN 2016:
1. Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
2. Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
3. Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, & kegiatan yg menguntungkan atau merugikan salah satu paslon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dlm waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih.