JAKARTA - Proses pencabutan status kewarganegaraan seseorang yang terlibat jaringan terorisme di luar negeri, termasuk ISIS, tidak perlu melalui proses pengadilan. Pemerintah bisa mengeluarkan keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) untuk mencabut status WNI yang terafiliasi jaringan terorisme.
"Saat ini pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sedang mendata dan menyusun bentuk legalitas bagi warga negara di luar negeri yang terlibat jaringan terorisme. Keputusan pemerintah bisa berbentuk Keppres (Keputusan Presiden), untuk permohonannya naturalisasi. Bisa juga keputusan Menkumham kalau pencabutan status kewarganegaraan," tegas Menkopolhukam Mahfud MD di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (18/2).
Dengan begitu, penetapan hilangnya status kewarganegaraan WNI yang pernah menjadi teroris di mancanegara, termasuk ISIS, tidak perlu melalui pengadilan. Pemerintah memastikan Keppres dan Kepmen dari Menkumham akan menjelaskan rinci soal pencabutan kewarganegaraan. "Kalau pencabutan tidak pakai pengadilan. Proses hukum bukan pengadilan saja," jelasnya.
Pemerintah, lanjutnya, sudah memutuskan tidak memulangkan 689 orang di luar negeri yang terlibat jaringan ISIS. Keputusan itu diambil usai Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas bersama para menteri terkait pada 11 Februari 2020. Sebanyak 689 orang tersebut kini berada di Suriah, Turki, Afghanistan dan beberapa negara lainnya. Keputusan itu diambil dengan sejumlah pertimbangan. Salah satunya demi menjaga keamanan 267 juta rakyat Indonesia.
Terkait nasib anak-anak, pemerintah masih mempertimbangkannya. Mahfud memastikan pemerintah akan membuat keputusan tahap lanjut. Saat ini pendataan masih dilakukan guna verifikasi. "Saatnya diputuskan. Sekarang masih didata. Aada benar nggak anak-anak itu di sana," ucapnya.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar mendorong untuk dilakukan asesmen secara detail terhadap anak-anak yang terlibat ISIS. "Saya menekankan untuk dilakukan asesmen secara detail. Bukan hanya di sini. Tetai juga mulai dari sana," kata Nahar di Jakarta, Selasa (18/2).
Dia mengingatkan pemerintah berhati-hati dalam memutuskan wacana pemulangan anak-anak tersebut. Menurutnya, ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. "Misalnya dengan konvensi hak anak. Kemudian soal pelibatan anak dalam konflik bersenjata. Itu ada UU-nya," jelas Nahar.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi alias Kak Seto mendukung langkah pemerintah memulangkan anak-anak yang terlibat ISIS kembali ke Indonesia. "Usia 10 tahun ke bawah sangat sensitif terhadap berbagai pengaruh," kata Kak Seto di Jakarta, Selasa (18/2).
Pengaruh itu, bisa kepada hal yang positif atau negatif. Anak-anak yang masih di bawah usia 10 tahun memungkinkan mendapatkan pendidikan psikologis. Setelah diberikan pendampingan psikologis, anak-anak tersebut akan disadarkan apa yang diajarkan selama ini sesuatu yang keliru. "Pertimbangan itulah kenapa mereka penting untuk ditarik pulang ke Tanah Air," imbuhnya.
Kak Seto memandang anak-anak hanyalah korban, bukan pelaku. Mereka tidak berdaya saat diajak orang tuanya untuk bergabung dengan organisasi terlarang. Terkait berapa lama mereka bisa direhabilitasi, Kak Seto menyebut tergantung berbagai aspek kepribadian masing-masing anak.
Terpisah, Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak RI, Arist Merdeka Sirait mengatakan rencana pemulangan anak-anak eks ISIS membutuhkan asesmen atau kajian mendalam. Terutama untuk menggalu sejauh mana mereka dilibatkan pada paham radikal. Langkah tersebut diperlukan. Ssehingga informasi yang didapatkan tidak hanya dari sekadar menduga-duga. "Jangan nanti kita menganggap para anak ditanamkan paham radikal, ternyata faktanya tidak. Sebab anak-anak itu korban," tegas Arist.
Pada prinsipnya, anak-anak tersebut tidak memiliki pemahaman-pemahaman seperti itu. Mereka biasanya diajari oleh orang tuanya. Karena itu, dalam perspektif perlindungan anak, mereka harus dilindungi oleh negara. "Jika dilihat dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak, negara harus menjamin dan memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Termasuk yang berada dalam situasi keterlibatan terorisme. Selain itu, dijelaskan dalam konvensi PBB. Sehingga anak-anak itu harus dilindungi," paparnya.(rh/fin)