Lemahnya Komunikasi, Salah Ketik di Pasal 170 RUU Omnibus Law Cipta Kerja

fin.co.id - 19/02/2020, 04:14 WIB

Lemahnya Komunikasi, Salah Ketik di Pasal 170 RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya pasal 170 ayat (1) dianggap kecelakaan akademik. Narasi yang termuat pada pasal 170 tersebut sekaligus membuktikan lemahnya komunikasi pelibatan publik oleh pemerintah dalam proses merumuskan teks.

Akademisi Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, sebagai negara demokrasi, pembuatan dan atau perubahan UU merupakan produk DPR RI bersama-sama dengan Pemerintah.

Jadi, pasal 170 ayat (1) tersebut tidak mempunyai pijakan konstitusional. RUU Cipta Kerja Pasal 170 ayat (1) berbunyi, Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.

Selain inkonstitusional, isi ayat tersebut memberikan keleluasaan dan kewenangan yang luar biasa kepada Pemerintah Pusat, hampir tanpa batas. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih rendah dari UU, bisa mengubah isi pasal dan atau ayat dari suatu UU. Sangat mengejutkan masyarakat.

"Pasal dari suatu UU direduksi menjadi PP. Aneh tapi nyata dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 170 telah menciderai tujuan mulia yang demokratis dilakukannya Omnibus Law, sebagai gagasan revolusioner narasi UU yang sangat valid untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di semua bidang kehidupan. Narasi yang termuat pada pasal 170 tersebut sekaligus membuktikan lemahnya komunikasi pelibatan publik oleh Pemerintah dalam proses merumuskan teks Omnisbus Law Cipta Kerja,” tegas Emrus kepada FIN di Jakarta, Selasa (18/2).

Dengan kata lain, isi pasal tersebut tidak akan terjadi jika rumusan RUU Cipta Kerja dihasilkan melalui proses komunikasi transparansi. Para pihak berkontribusi memberikan pemikiran, pandangan, kritikan dan masukan. Yang terjadi, tiba-tiba RUU Cipta Karya diajukan ke DPR RI. "Akibatnya, sebagaian publik bertanya, apa ada makna tertentu di balik isi pasal demi pasal," imbuhnya.

Selanjutnya, pada pasal 170 ayat (3) bahwa "Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia."

"Sebenarnya isi ayat ini merupakan strategi penghalusan narasi yang mencoba menghilangkan jejak dengan mencantumkan bahwa Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan DPR RI. Pemakaian kata dapat bisa bertujuan sebagai manipulasi persepsi publik," tukasnya.

Masyarakat yang kurang kritis, lanjutnya, akan memaknai bahwa keharusan bagi Pemerintah Pusat berkonsultasi dengan pimpinan DPR sebelum melakukan perubahan dari isi suatu UU. Seolah-olah sudah melalui dialog dua arah. Padahal, makna dapat dalam ayat (3) tersebut, sebagai bukan kewajiban. Bisa dilakukan konsultasi, bisa juga tanpa konsultasi ketika Pemerintah Pusat ingin mengubah isi suatu UU tertentu.

"Dengan demikian, narasi RUU Cipta Kerja, pasal 170 sangat berpotensi disalahgunakan oleh siapapun yang berkuasan ke depan. Karena itu, pasal tersebut harus dikubur dalam-dalam.Terlepas dari apa agenda di balik pembuatan narasi. Menurut hemat saya, rumusan tersebut dapat dikategorikan sebagai kecelakaan akademik dari aspek Konstitusi dan Demokrasi. Tidak ada salahnya semua pihak yang terkait menyampaikan permohonan maaf,” paparnya.

Terpisah, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco memberi kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki RUU Omnibus Law Cipta Kerja. "Dalam draf itu kan ada kesalahan ketikan. Larena itu, kita kasih kesempatan memperbaiki. Atau kita perbaiki di DPR sebelum dibahas lebih lanjut. Kan nanti ada rapat antara pemerintah dengan DPR," ujar Dasco di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).

Menurutnya, kesalahan ketik itu kemungkinan bisa terjadi karena draf RUU Cipta Kerja sangat tebal. “Ini kan drafnya tebel sekali. Kemudian ada tenggat waktu yang sempit. Yang mengerjakan kan juga manusia, bukan mesin. Jadi pasti ada human error. Itu bisa saja terjadi. Kalau ada kekeliruan, kita perbaiki saja," ucapnya.

Terpisah, Menkopolhukam Mahfud MD menyebutkan permasalahan salah ketik pada draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja, cuma satu pasal. Dia menjelaskan persoalan salah ketik hanya terjadi pada Pasal 170 yang menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah bisa mengubah ketetapan undang-undang (UU). "Kalau yang salah ketik itu hanya satu. Kalau yang dianggap bermasalah itu beda soal. Aspirasi itu bisa dibahas di DPR nanti. Yang lain itu bukan karena salah, tapi orang beda pendapat. Kalau beda pendapat silakan diperdebatkan di DPR," ujar Mahfud.(khf/fin/rh)

Admin
Penulis