Keterangan Saksi Sidang Suap Pengesahan APBD Jambi

fin.co.id - 15/02/2020, 12:15 WIB

Keterangan Saksi Sidang Suap Pengesahan APBD Jambi

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAMBI – Pengakuan mengejutkan datang dari saksi dugaan suap “ketok palu” pengesahan APBD TA 2017 Provinsi Jambi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Uang yang diterima anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019, dipergunakan untuk berbagai keperluan pribadi. Seperti Tadjudin Hasan. Dia blak-blakan mengungkapkan, jika uang ketok palu yang diterimanya untuk kepentingan pribadi.

“Itukan rezeki, Alhamdullilah. Uangnya saya pergunakan untuk keperluan “investasi” kedepan,” ungkapnya dimuka sidang yang dipimpin Ketua Majelis Morailam Purba, kemarin (13/2). Investasi yang dimaksud Tadjudin Hasan adalah keperluan ketika berhubungan konstituen-konstituen. Tidak itu saja, lanjutnya, uang ketok palu yang diterima dari Kusnindar itu pun disalurkan sebagai sumbangan ke masjid.

"Saya terima pertama Rp 100 juta, kedua Rp 100 juta dari Kusnindar. Uangnya untuk investasi, saya bagikan untuk konstituen-konstituen yang datang, untuk lebaran, sumbangan masjid. Untuk itulah uangnya," ungkapnya.

Selain uang Rp 200 juta, politisi gaek yang pernah menjabat Sekretaris PKB, mengaku menerima uang ketok palu periode lain sebesar Rp 600 juta. Uang tersebut diterima dari orang yang tidak dikenalnya. “Uang itu jatah untuk fraksi PKB. Kalau soal, apakah anggota dewan yang lain juga menerima, saya tidak tahu Yang Mulia,” tegasnya.

Sofyan Ali, mantan anggota DPRD Provinsi Jambi yang kini terpilih sebagai anggota DPR RI, juga mengaku menerima uang ketok palu APBD TA 2017 Provinsi Jambi.

Hal ini diungkapnya di persidangan dengan terdakwa Supardi Nurzain, Gusrizal dan Elhelwi. Sofyan Ali mengaku menerima uang Rp 200 juta dari Kusnindar saat masih menjadi anggota DPRD Provinsi Jambi.

Sopyan Ali dihadirkan sebagai saksi bersama empat orang lainnya yang juga anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019. Tadjudin Hasan, Rudi Wijaya, Arrahkmat Eka Putra dan Luhut Silaban. "Anda terima uang ketok palu nggak (2017)?" tanya hakim ketua. "Saya terima tapi saya kembalikan. Kalau orang ini (terdakwa Supardi Nurzain, Gusrizal dan Elhelwi) saya tidak tahu pak," tegasnya.

Menurut Sopyan Ali, uang itu diantar oleh Kusnindar ke rumahnya. "200 (Rp 200 juta), diantar Kusnindar ke rumah. Uang disimpan dalam kantong plastik hitam. Katanya itu adalah titipan. Saya pahami pimpinan," kata Sofyan Ali menjawab pertanyaan hakim Purba soal berapa dan di mana uang itu dia terima.

Sopyan Ali mengatakan, uang itu disimpannya di lemari di rumahnya hingga akhirnya dikembalikan ke KPK. "Waktu ditanya penyidik, saya kembalikan," kata dia. Hal itu sudah dianggap biasa di kalangan dewan. "Kita memaklumi saja. Kita anggap uang ketok palu. Kita anggap itu sudah biasa," kata Sopyan Ali.

Setelah diterima pada 2017, Sopyan Ali baru mengembalikan uang tersebut pada 2018 saat kasus sudah disidik KPK.

Meski mengaku menerima uang untuk ketok palu APBD 2017, Sopyan Ali sempat mengaku tidak tahu menahu soal suap APBD 2018. Sopyan Ali menyebutkan, kalau dia baru tahu ada uang ketok palu dari berita OTT KPK dan saat dimintai keterangan oleh penyidik.

Uang itu kemudian dipegang oleh Tadjudin Hasan. "Kapan saudara tahu kalau pak Tadjudin sudah membagikan ke yang lain?" tanya hakim "Nggak tahu. Semua menutup komunikasi," kata Sopyan Ali.

Soal pembagian uang ketok palu dari pihak eksekutif, Sopyan Ali bilang kalau ini merupakan bentuk perselingkuhan antara eksekutif dan pengusaha. "Jadi dewan yang jadi alat stempel dan itu sudah menjadi budaya," jawabnya saksi menjawab pertanyaan majelis hakim. "Saya rasa tidak semua anggota, tapi ada oknum," ungkapnya.

Luhut Silaban yang hadir sebagai saksi pada persidangan menyebutkan bahwa dirinya menerima uang dari Kusnindar Rp 200 juta. Penyerahan pertama Rp 100 juta di jalan, disekitar rumahnya dan kedua Rp 100 juta di lobby kantor DPRD Provinsi Jambi. "Terima yang untuk 2017 saja. Untuk 2018 saya tidak terima lagi,” tegasnya.

Selanjutnya, Rudi Wijaya. Dalam sidang, saksi menyebutkan bahwa dirinya mengetahui uang jatah PKS sebesar Rp300 juta. "Disuruh Rahmat simpan saja uang itu karena PKS memang dilarang menerima uang-uang seperti itu. Setelah itu, PKS tidak ada lagi menerima. Juga tidak ada pembahasan uang itu mau dipakai apa," katanya.

Admin
Penulis